Kebijakan lingkungan hidup Uni Eropa
Kebijakan lingkungan hidup Uni Eropa adalah salah satu kebijakan penting di dalam organisasi Uni Eropa. Kebijakan ini merupakan bentuk kerjasama antara negara-negara anggota Uni Eropa dengan negara-negara lainnya. Tujuan utama dari kebijakan tersebut adalah untuk meningkatkan kualitas lingkungan, perlindungan kesehatan, penggunaan sumber daya alam yang bijaksana, serta mempromosikan penanggulangan masalah lingkungan di tingkat regional maupun global. PenyebabMemasuki abad ke-20, perhatian berbagai kalangan di dunia terhadap lingkungan hidup menjadi semakin tinggi, tidak terkecuali di Eropa.[1] Isu lingkungan hidup[a] menjadi salah satu unsur terpenting dalam kebijakan Uni Eropa.[b] Lingkungan hidup menjadi tiga isu besar di dunia bersama hak asasi manusia dan pemberantasan korupsi.[2] Hal ini disebabkan karena pada dasarnya lingkungan hidup di dunia merupakan suatu kesatuan yang berkesinambungan[c] dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia.[3] Untuk itulah dituntut suatu kerjasama internasional yang adil, demokratis, dan menguntungkan bagi semua pihak.[4][5][6] Sebagai organisasi yang memiliki peran signifikan dalam pengambilan keputusan politik mengenai perubahan lingkungan global (terutama jika dibandingkan dengan perundingan internasional, aktivis masyarakat sipil, dan inisiatif sektor swasta),[7] Uni Eropa mengembangkan berbagai regulasi dan program aksi dalam rangka meningkatkan kualitas lingkungan hidup, termasuk berbagai isu terkait keprihatinan masyarakat Uni Eropa (seperti perubahan iklim di Eropa, penipisan lapisan ozon, dan kelestarian hewan).[8][9] Penciptaan regulasi ini dimaksudkan agar Uni Eropa mampu menjadi pelopor dalam peraturan internasional,[d] sehingga kepentingan negara-negara anggotanya akan lebih mudah dicapai.[6][10] Beberapa pengamat seperti Keraf menambahkan bahwa regulasi yang diciptakan oleh Uni Eropa juga disebabkan karena politik domestik Uni Eropa menuntut agar diciptakannya standar khusus dalam persaingan internasional, terlebih di bidang lingkungan.[11] Santosa berpendapat bahwa Uni Eropa menangani isu lingkungan juga sebagai upaya untuk merespon globalisasi yang ada. Upaya ini dilakukan melalui dua strategi utama, yaitu exercising regulatory influence dan empowering international institutions. Globalisasi dianggap memiliki dua ancaman tersendiri bagi setiap negara, yaitu liberalisasi ekonomi yang mendorong negara-negara Eropa untuk menurunkan standar agar dapat bersaing serta adanya lembaga-lembaga internasional yang turut mempromosikan liberalisasi ekonomi.[12][13] Hal inilah yang membuat Uni Eropa meningkatkan dan memperketat standar lingkungan.[14] Ada beberapa pendapat lain yang menyatakan tentang alasan keterlibatan Uni Eropa dalam penanganan isu lingkungan global. Pongtuluran memandang keterlibatan Uni Eropa dalam isu lingkungan karena telah menjadi kebutuhan fungsional. Menurutnya, isu lingkungan tidak dapat diselesaikan secara personal, tetapi harus diselesaikan secara global.[15] Namun, ada juga yang berpendapat bahwa keterlibatan tersebut memiliki hubungan yang erat dengan peningkatan kekayaan individu, yang kemudian mendorong untuk tersebarnya nilai-nilai pos-materialis, salah satunya adalah peningkatan perlindungan terhadap lingkungan. Peningkatan perlindungan ini disalurkan melalui proses politik, sehingga suatu negara kemudian memutuskan untuk meratifikasi suatu perjanjian terkait lingkungan.[16] Pendapat lain muncul dari ahli konstruktivis yang mengatakan bahwa Uni Eropa melakukan ini semua karena dikonstruksikan oleh rezim lingkungan global, bukan karena pengaruh politik domestik.[17] Adapun Durán dan Morgera menyatakan bahwa kepemimpinan Uni Eropa dalam pemerintahan lingkungan global memiliki tujuan untuk menunjukkan identitasnya sebagai civilian power. Uni Eropa ingin menunjukkan kemampuannya untuk menjadi civilian power di bidang-bidang tertentu seperti lingkungan, demokrasi, perdagangan, dan hak asasi manusia. Hal ini dikarenakan Uni Eropa tidak begitu mampu menjadi leader di bidang militer dan keamanan.[18] Upaya kebijakanUni Eropa mulai menunjukkan kepedulian terhadap lingkungan setelah diadakannya Konferensi Lingkungan di Stockholm oleh PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) pada 1972. Konferensi tersebut berhasil membuat negara-negara di Eropa mulai tergerak untuk turut aktif menyuarakan isu-isu lingkungan dan melakukan berbagai kegiatan untuk menunjang pembangunan berkelanjutan. Deklarasi ini dilakukan setelah mempertimbangkan kebutuhan untuk pandangan umum dan prinsip-prinsip umum untuk menginspirasi dan memandu bangsa di dunia dalam pelestarian dan peningkatan lingkungan manusia.[19] Deklarasi ini menjadi dasar dari legitimasi isu lingkungan untuk mencapai tingkat perlindungan dan perbaikan lingkungan manusia, sehingga masalah besar yang memengaruhi kesejahteraan masyarakat dan pembangunan ekonomi di seluruh dunia dapat ditangani.[20] Kebijakan lain yang dilakukan oleh Uni Eropa untuk menangani permasalahan lingkungan di negara-negara anggota dan juga non-anggota adalah melalui berbagai perjanjian dan program.[21] Adapun perjanjian dan program tersebut di antaranya adalah EAP (Environmental Action Programme), restriksi GMOs, dan Greening World Trade.[22] Selain itu, Uni Eropa juga menerapkan pembangunan berkelanjutan dengan tiga fokus utama, antara lain:
EAP (Environmental Action Programme)Bukti keikutsertaan Uni Eropa dalam menyuarakan isu lingkungan adalah dengan dibentuknya EAP (Environmental Action Programme) untuk menanggulangi permasalahan lingkungan yang ada di Eropa. EAP berusaha menyeimbangkan pembangunan ekonomi dan lingkungan melalui pembangunan berkelanjutan yang ada, sehingga lingkungan akan tetap terjaga dari pencemaran. Sampai saat ini, EAP telah dilaksanakan sebanyak tujuh kali terhitung sejak tahun 1973 hingga tahun 2020.[21] Etty dan Somsen menyebutkan bahwa EAP yang pertama (1973–1977) tertuju kepada persoalan polusi, yaitu terkait sumber penyebab dan dampaknya terhadap air, tanah, dan udara dengan mengusung prinsip who polutes pays. Prinsip ini dijalankan dengan memberikan hukuman terhadap negara-negara yang menghasilkan polusi melebihi batas yang disepakati. Negara tersebut harus bertanggung jawab atas dampak negatif yang ditimbulkan terhadap lingkungan. EAP pertama ini cenderung memiliki fokus terhadap pengelolaan air untuk menghindari krisis air.[24] Pada EAP kedua (1977–1981), isu lingkungan yang dibahas oleh negara-negara Uni Eropa mengalami perkembangan dengan bahasan mengenai perlindungan lingkungan secara menyeluruh. EAP juga mulai mensosialisasikan kriteria air dan udara yang berkualitas. Selain itu, EAP juga menetapkan standar dan kualitas air yang layak dijadikan sebagai air minum untuk menghindari munculnya masalah kesehatan.[25] Selanjutnya, EAP ketiga (1982–1986) memiliki fokus terhadap kebijakan mengenai pencegahan kerusakan lingkungan. EAP ketiga memiliki fokus untuk menyeimbangkan aspek keuntungan dan kerugian terhadap pasar internal dengan tetap memperhatikan lingkungan. Adapun EAP keempat (1987–1992) disebut-sebut sebagai turning point dalam kebijakan lingkungan di kawasan Eropa.[26] Fokus dalam EAP keempat juga mengharmonisasikan antara kepentingan ekonomi dan proteksi lingkungan. Perbedaan antara EAP ketiga dan keempat adalah skala penerapannya yang mulai terintegrasi dalam skala regional. Sejak EAP keempat dilakukan, istilah sustainable development mulai dijalankan. Kebijakan dalam EAP keempat menghasilkan peningkatan integrasi negara-negara Eropa terkait isu lingkungan dan memunculkan organisasi-organisasi peduli lingkungan lainnya.[27] EAP kelima (1992–1995) yang disebut sebagai momen roll-back dalam perkembangan kebijakan lingkungan di Eropa. Hal itu disebabkan karena Uni Eropa kembali memberlakukan sistem desentralisasi dalam pembentukan kebijakan lingkungan, yang membuat turunnya integrasi negara-negara Eropa. Namun, pada EAP keenam (1997–2003) yang diawali dengan penandatanganan Amsterdam Treaty tahun 1977, EAP kembali meningkatkan kebijakan terkait lingkungan. Perjanjian ini juga mulai melibatkan pihak luar dengan mengundang lembaga swadaya masyarakat yang fokus terhadap lingkungan.[28] Terakhir, EAP ketujuh (2013–2020) memiliki fokus yang lebih luas daripada EAP sebelumnya, yaitu perubahan iklim, perlindungan ekosistem, pemanfaatan sumberdaya, serta upaya penciptaan energi baru yang ramah lingkungan. Fokus tersebut didedikasikan untuk mengatasi masalah iklim dan energi, penggunaan sumber daya, mendorong para pelaku industri untuk bisa menghasilkan produk dengan cara yang efisien, bersifat lebih tahan lama, serta mudah diperbaiki dan didaur ulang.[29] GMO (Genetically Modified Organism)Pada 1990-an, Uni Eropa turut menyuarakan kesehatan, keamanan koonsumen, dan perhatian terhadap lingkungan di Eropa dengan mengeluarkan rezim regulasi yang dinilai paling ketat di dunia terkait otorisasi dan pelabelan GMO (Genetically Modified Organism) atau transgenik. Uni Eropa kemudian mengenalkan peraturan umum baru terkait dengan eksperimental rilis, pemasaran, pelabelan, dan tracing GMO sekitar tahun 2001 dan 2003.[30] Pengenalan regulasi baru ini didasarkan kepada Precautionary Principle yang mengharuskan para pembuat kebijakan untuk bertindak membatasi produk yang membahayakan. Rezim ini dihadapkan dengan serangan hukum karena dianggap sebagai unjustified trade barrier. Amerika Serikat sebagai produsen dan eksportir utama GMO menganggap regulasi tersebut tidak adil dan merugikan. Maraknya perlawanan terhadap Frankenstein foods juga menjadi keuntungan tersendiri bagi Uni Eropa untuk menyebarkan restriksi GMO. Uni Eropa mencoba menyebarkan pendekatan rezim regulasi GMO melalui protokol tahun 1992 dalam Convention on Biodiversity. Uni Eropa kemudian berhasil memelopori pembentukan Cartagena Protocol on Biosafety tahun 2000 yang di dalamnya mengadopsi Precautionary Principle sebagai dasar justifikasi dalam restriksi perdagangan di bidang transgenik.[31] Penggunaan prinsip tersebut dalam Cartagena Protocol dinilai oleh para ahli sebagai upaya untuk mempermudah suatu negara melakukan blokade terhadap impor GMO. Dengan menciptakan lembaga standar di tingkat internasional, Uni Eropa secara tidak langsung juga telah meningkatkan legitimasi terhadap Precautionary Principle. Di sisi lain, meskipun aturan ini dianggap sebagai unjustified trade barrier (standar domestik yang diadopsi dalam perjanjian internasional), Precautionary Principle tidak dapat dianggap sebagai sebuah hambatan dalam perdagangan.[32] Namun, Amerika Serikat yang merasa dirugikan kemudian mengajak Kanada dan Argentina untuk melaporkan kepada WTO (World Trade Organization) bahwa moratorium aturan Uni Eropa terhadap GMO pada rentang tahun 1999 dan 2003 telah melanggar aturan perdagangan dunia.[33] Pada 2004, Uni Eropa mengangkat moratorium dengan mulai melakukan perubahan dan evaluasi terhadap restriksi GMO, salah satunya adalah memperbolehkan genetically modified foodstuffs atau bahan makanan yang dimodifikasi secara genetik. WTO baru mengeluarkan keputusan pada 2006 dengan menyatakan bahwa moratorium Uni Eropa tahun 1999 dan 2003 adalah ilegal. Uni Eropa memang akhirnya menerima pernyataan tersebut, tetapi organisasi tersebut juga menegaskan bahwa pernyataan itu tidak akan mengubah sistem baru regulasi GMO yang telah ada sejak tahun 2004 yang juga didasarkan kepada evaluasi ilmiah.[34] Green World TradeUsaha Uni Eropa terkait lingkungan dibuktikan dengan menjalankan dua strategi dasar. Pertama, mensosialisasikan standar lingkungan yang diciptakan melalui MEAs, seperti yang dilakukan dalam Protokol Cartagena dan Protokol Kyoto. Kedua, menyebarkan kampanye perdagangan internasional yang bersifat "hijau". Uni Eropa menunjukkan komitmennya terhadap isu lingkungan di bawah MEAs dengan mengubah beberapa aturan perdagangan internasionalnya. Akibatnya, tidak jarang Uni Eropa mengalami konflik terkait dengan aturan perdagangan bebas dan kebijakan lingkungan.[35] Namun, artikel XX dalam GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) telah menyebutkan bahwa ada pengecualian dalam perdagangan bebas yang memungkinkan penandatangan untuk melakukan restriksi dengan alasan lingkungan. Kebijakan tersebut kemudian menghasilkan SPS (Agreements on Sanitary and Phytosanitary Measures) dan TBT (Technical Barriers to Trade).[36] Upaya ini dilakukan oleh Uni Eropa untuk memperbaiki kerusakan keanekaragaman hayati, mengurangi pelepasan emisi gas rumah kaca, menghentikan kerusakan lahan, dan melindungi lautan.[37] Uni Eropa lantas mengemukakan tuntutan tentang kebijakan WTO menyikapi perbedaan antara kewajiban perdagangan dalam MEAs dan aturan umum tentang perdagangan bebas.[38] MEAs mengatur banyak hal tentang perdagangan, misalnya CITES (Convention on Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) yang melarang perdagangan terhadap hewan yang membahayakan dan Protokol Montreal yang melarang impor CFCs. Uni Eropa membahas hal ini dalam Putaran Doha dengan menuntut adanya perubahan aturan yang mencakup aturan dalam MEAs.[39][22] Disharmoni dengan Amerika SerikatDalam bidang lingkungan hidup, Uni Eropa maupun Amerika Serikat memiliki posisi yang saling berseberangan.[e] Kepemimpinan Amerika Serikat dalam bidang lingkungan hidup dunia terlihat sejak tahun 1970-an melalui isu gas bebas timbal, CFCs, dan lubang ozon. Namun, kepemimpinan tersebut diambil alih oleh Uni Eropa sejak tahun 1990-an melalui isu hormon pertumbuhan, keanekaragaman hayati, dan pemanasan global.[40] Amerika Serikat lantas mengecewakan Uni Eropa ketika George Walker Bush menyatakan mundur dari Protokol Kyoto, sehingga tanggung jawab kepemimpinan pindah ke pundak Uni Eropa. Para pengamat sendiri menengarai bahwa kebijakan tersebut disebabkan karena tekanan kelompok bisnis domestik yang kuat kepada Amerika Serikat. Perkembangan terakhir mengenai lingkungan hidup secara global adalah masa depan Persetujuan Paris. Persetujuan tersebut merupakan perjanjian dalam Kerangka Kerja Perubahan Iklim PBB agar semua pihak di dunia menjunjung berbagai aksi perbaikan iklim secara nyata.[41][42] Persetujuan ini sendiri sudah dinegosiasikan oleh 195 perwakilan negara-negara di dunia dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-21 di Paris, Prancis dan direncanakan dapat berjalan dengan efektif pada 2020. Setelah melalui berbagai negosiasi, persetujuan ini ditandatangani pada peringatan Hari Bumi bulan April 2016 di New York, Amerika Serikat.[43] Sampai dengan bulan Maret 2017, 194 negara telah menandatangani Persetujuan Paris, tetapi saat ini terjadi disharmoni antara Uni Eropa dan Amerika Serikat setelah Donald Trump menjadi presiden. Adapun penyebabnya adalah Amerika Serikat menyatakan menarik diri dari kesepakatan ini secara unilateral pada 1 Juni 2017.[44] Sebagai penghasil gas rumah kaca terbesar kedua di dunia, Amerika Serikat yang bergabung dengan Suriah dan Nikaragua sebagai negara yang tidak berpihak kepada Persetujuan Paris, akan menghentikan upaya internasional untuk mengatasi pemanasan global.[45] Para pengamat berpendapat bahwa alasan yang dikemukakan Trump lebih berkenaan dengan ekonomi daripada sains dan iklim.[46] Trump mengklaim bahwa keikutsertaan Amerika Serikat dalam Perjanjian Paris akan merugikan negaranya sebesar 3 triliun dolar AS dan 6,5 juta lapangan kerja.[47] Setelah pernyataan pengunduran tersebut, Uni Eropa yang diwakili oleh Jerman, Prancis, dan Italia membuat pernyataan bersama yang mengecam posisi Amerika Serikat. Hal ini disebabkan karena Uni Eropa yakin bahwa Persetujuan Paris merupakan instrumen vital bagi bumi, masyarakat, dan ekonomi dunia.[48] Jean-Claude Juncker, presiden Komisi Eropa, dalam konferensi Konfederasi Pengusaha Jerman di Berlin mengatakan bahwa Amerika Serikat tidak bisa keluar begitu saja dari perjanjian karena diperlukan waktu tiga hingga empat tahun untuk menarik diri.[49] Lihat pula
Catatan
Rujukan
Daftar pustakaBuku
Jurnal
Pranala luar |