Kedonganan, Kuta, Badung8°45′50″S 115°10′43″E / 8.763855°S 115.178735°E
Kedonganan (Aksara Bali: ᬓᬾᬤᭀᬗᬦᬦ᭄ ) adalah kelurahan yang berada di kecamatan Kuta, Badung, Bali, Indonesia.[3] Desa Kedonganan terkenal dengan sektor Perikanan, dan juga Pantai Kedonganan yang indah. GeografiBatas WilayahKelurahan Kedonganan terletak di ujung selatan Kecamatan Kuta yang berbatasan dengan:
SejarahSulit diketahui secara pasti mengenai arti nama Kedonganan. Bila pun ditemukan, sumber historis yang mengungkap sejarah masa lalu Kedonganan cenderung beragam, beranekaragam versi. Salah satu versi menyebutkan Kedonganan adalah sebuah desa yang sudah ada dari tahun 1324 (Saka warsa 1246) tetapi dengan nama Kedongayan. Versi ini terungkap dalam Babad Ularan yang kemudian dikutip dalam Eka Ilikita Desa Adat Kedonganan. Disebutkan, saat Bali diperintah Dalem Bedahulu, Ki Ularan pernah menyinggahi sejumlah desa di pesisir selatan Bali seperti Tuban, Kelahan dan Kedongayan. Dalam masa invasi Gajah Mada ke Bali, nama Kedongayan juga turut disebut-sebut sebagai tempat pendaratan tentara Majapahit bersama Kuta Mimba, Kelahan dan Tuban. Ini berarti, berdasarkan versi ini, nama Kedonganan sebelumnya adalah Kedongayan, paling tidak sampai pada zaman Bedahulu. Hanya, mengapa desa ini diberi nama Kedongayan masih sulit untuk dilacak. Versi lain menyebutkan hal yang berbeda. Dalam buku Monografi Desa Tuban tahun 1980 maupun Monografi Kelurahan Tuban tahun 1990, Kedonganan memang masih menjadi satu desa atau kelurahan dengan Tuban dan disebutkan nama Kedonganan berasal dari kata gedong yang berarti ‘tempat bersujud’, ‘mengheningkan cipta’. Diceritakan, setelah kalah dalam pertempuran di Kerajaan Gelgel, I Gusti Agung Maruti pergi melarikan diri. Pertama-tama sang patih yang kemudian karena memberontak berhasil menjadi penguasa di Gelgel selama lebih dari 30 tahun itu tiba di Kelan. Dari Kelan, ia kemudian melanjutkan perjalanan ke selatan. Di tempat inilah I Gusti Agung Maruti mengenang nasibnya, kekalahannya, swadharma-nya dan mengheningkan cipta menunggalkan angga sarira serta atma sarira, memuja kebesarahan Ida Sang Hyang Widhi. Mengenang pentingnya arti tempat tersebut kemudian diberi nama Gedongan. Lama-kelamaan berubah menjadi Kedonganan.[4] Pada tahun 1997 karena adanya perkembangan yang signifikan dari segi kemasyarakatan yang membutuhkan pelayanan yang efektif dan efisiensi maka diadakan pemekaran wilayah Kelurahan Kuta yang dibagi menjadi tiga sesuai SK Gubernur No 643 Tahun 1997 yaitu: (1) Kelurahan Kuta, (2) Kelurahan Legian dan (3) Kelurahan Kedonganan. PariwisataPantaiPerkembangan pariwisata di Kedonganan dimulai sekitar tahun 1995, ketika potensi pantainya mulai dilirik sebagai daya tarik wisata. Pada tahun 2006, terdapat sekitar 24 kafe/restoran seafood yang berdiri di sepanjang Pantai Kedonganan. Namun, pertumbuhan yang pesat ini menimbulkan berbagai masalah lingkungan, sosial, dan ekonomi akibat kurangnya perencanaan yang matang. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pada tahun 2007, dengan dukungan pemerintah Kabupaten Badung dan tokoh masyarakat setempat, dibentuk Badan Pengelola Kawasan Pariwisata Pantai Kedonganan (BPKP2K). Langkah ini bertujuan menata kawasan pesisir pantai menjadi Daya Tarik Wisata (DTW) yang lebih terstruktur dan berkelanjutan.[5] Saat ini, Kedonganan dikenal dengan Pantainya. Wisatawan dapat menikmati berbagai aktivitas seperti bermain pasir, menikmati kuliner laut segar di kafe-kafe tepi pantai, dan menyaksikan matahari terbenam. Selain itu, Pasar Ikan Kedonganan menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang ingin membeli seafood segar dan menikmatinya langsung di restoran pinggir pantai.[6] HutanDesa adat Kedonganan juga menawarkan destinasi wisata keindahan alam Hutan mangrovenya yang merupakan salah satu upaya dalam mendukung pelestarian ekosistem. Hutan mangrove di Kedonganan ini merupakan bagian dari kawasan Taman Hutan Raya Ngurah Rai. Kawasan ini dikelola oleh Desa Adat Kedonganan dan dikembangkan sebagai destinasi ekowisata berbasis lingkungan. Tujuannya adalah menjaga kelestarian hutan mangrove sekaligus memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat setempat. Kawasan ini mencakup area konservasi mangrove yang juga dimanfaatkan untuk aktivitas pariwisata seperti tur edukasi dan penanaman mangrove.[7] Pengunjung dapat menjelajahi hutan mangrove melalui jalur bambu atau menaiki perahu untuk melihat keanekaragaman hayati. Selain itu, terdapat program penanaman mangrove yang dirancang untuk mengedukasi wisatawan tentang pentingnya pelestarian lingkungan. Kawasan ini juga berfungsi sebagai perlindungan pantai dari abrasi, habitat bagi berbagai spesies, dan pendukung ekosistem laut.[8] Ekowisata ini memberikan dampak positif bagi masyarakat sekitar. Banyak warga yang kini bekerja sebagai pemandu wisata, pengelola fasilitas, atau terlibat dalam aktivitas konservasi. Dengan pengelolaan yang berbasis komunitas, hasil dari ekowisata ini digunakan untuk mendukung program lingkungan dan sosial di desa. Selain kesuksesan pengelolaan dan pemberdayaan kawasan ini terdapat beberapa tantangan yang dihadapi sebelumnya. Tantangan yang dihadapi dalam pengelolaan ekowisata mangrove meliputi perbaikan infrastruktur, seperti akses jalur yang lebih baik untuk pengunjung, dan upaya meningkatkan kesadaran lingkungan di kalangan wisatawan. Selain itu, digitalisasi kawasan wisata ini juga telah dilakukan dengan dukungan Bank Indonesia untuk mempermudah promosi dan pengelolaan data pengunjung.[9] BudayaMabuug-buuganMabuug-buugan adalah tradisi sakral yang dilaksanakan oleh masyarakat Desa Adat Kedonganan pada hari Umanis Nyepi, sehari setelah Hari Raya Nyepi. Tradisi ini melibatkan permainan rakyat dengan menggunakan media lumpur sebagai simbol pembersihan diri secara lahir dan batin. Setelah beraktivitas di lumpur, peserta melanjutkan dengan ritual pembersihan di pantai. Tradisi ini sempat terhenti pada tahun 1965 dan dihidupkan kembali pada tahun 2015. Pada tahun 2019, Mabuug-buugan diakui sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.[10] MapatungMapatung adalah tradisi pembagian daging yang dilaksanakan oleh Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Kedonganan bersama dengan desa adat. Tradisi ini bertujuan melestarikan budaya lokal dan mempererat hubungan sosial antarwarga. Pada Agustus 2024, LPD Kedonganan kembali membagikan daging babi dan ayam kepada masyarakat sebagai bagian dari upaya melestarikan tradisi mepatung.[11] Kedonganan memiliki Lembaga Perkreditan Desa (LPD) yang berperan penting dalam mendukung pembangunan adat, budaya, dan agama. LPD Desa Adat Kedonganan merupakan lembaga keuangan adat yang sehat, tangguh, dan bermanfaat bagi masyarakat setempat. PemerintahanDaftar lurahDalam menjalankan roda pemerintahan Kelurahan Kedonganan hingga saat sekarang ini dapat kami sampaikan urutan pemimpin sebagai berikut:
Daftar bendesa adatUntuk pemimpin Adat (Bendesa Adat Kedonganan) adalah sebagai berikut:
Daftar ketua LPMSedangkan pimpinan organisasi LPM dapat disampaikan sebagai berikut:
Pembagian AdministratifKelurahan Kedonganan dibagi dalam 6 Banjar (Bali) yaitu:
PendudukPenduduk kelurahan Kedonganan sampai dengan tahun 2016, sebanyak 7.070 jiwa terdiri dari 3.699 laki-laki dan 3.371 perempuan dengan sex rasio 109. Tingkat kelahiran selama tahun 2016 sebanyak 130 jiwa dan kematian 103 jiwa.[1] Lihat pula• Kuta • Jimbaran Referensi
Pranala luar
|