Ma'soem
Haji Ma'soem (1923 – 2001) adalah seorang pengusaha sekaligus pendiri Ma'soem Group dan Yayasan Pendidikan Al Ma'soem. Selain sebagai pengusaha, H. Ma'soen juga dikenal sebagai pendidik yang sangat disegani.[1] Kelahiran dan masa-masa awalHaji Ma'soem terlahir dengan nama Dajoen di Desa Cibuyut di kaki gunung di Tasikmalaya pada hari Jumat sekitar tahun 1923. Ia merupakan putra keempat dari lima bersaudara, anak pasangan H. Soelaeman dan Kasih. Ia bersekolah di Sekolah Rakyat kemudian melanjutkan ke Vervogschool di Kecamatan Ciawi, Tasikmalaya. Setiap hari, Dajoen harus berjalan kaki sejauh 16 kilometer untuk mencapai sekolahnya. Sepulang dari sekolah, ia melanjutkan belajar di Pesantren Gereba.[1] Sejak kecil, Dajoen sudah belajar hidup mandiri. Ia memelihara beberapa ekor bebek untuk diambil telurnya. Uang penjualan telur digunakan untuk membiayai sekolah.[1] Seamat dari Vervolgschool, Dajoen meninggalkan desa kelahirannya untuk berdagang di Cipacing dan sewaktu-waktu bekerja sebagai buruh tani. Ia tinggal bersama kakaknya, Kyai Nasihin. Pada zaman pendudukan Jepang, Dajoen pulang kampung dan belajar di Pesantren Karangsambung yang dipimpin K.H. Masduki. Dajoen amat disayang K.H. Masduki sehingga diberi nama Ma’soem, yang artinya "terpelihara dari sifat buruk". Pada tahun 1944, K.H Masduki menikahkan Ma’soem dengan Aisyah, putrinya.[1] Menjadi pengusahaPada awal kemerdekaan, Ma’soem berdagang kerbau. Ia membeli dua hingga tiga ekor kerbau dari seputar Ciawi kemudian ia jual di Bandung dengan berjalan kaki. Memasuki tahun 1950, suasana desa tidak aman. Keluarga Ma’soem hampir menjadi korban sehingga ia memutuskan mengembara ke Kota Cipacing dan membuka lembaran hidup baru. Di Cipacing, Ma'soem berdagang kerajinan yang ia bawa ke Bandung bahkan Jakarta. Pada saat itu kehidupan keluarga Ma'soem masih sangat sederhana.[2] Ma’soem selanjutnya memutuskan untuk berhenti berdagang kerajinan karena hasilnya tidak mencukupi kebutuhan. Ia menyewa sepetak warung di depan Pasar Dangdeur, Rancaekek, untuk berdagang minyak tanah sebanyak satu blek (20 liter) per hari. Usahanya menjadi maju karena Ma'soem mengedepankan sikap jujur dan ramah kepada pembeli. Akhirnya Ma’soem berhasil menjadi agen minyak tanah. Semula ia menggunakan alat angkut pedati, akhirnya ia membeli truk bekas. Ma'soem juga merintis usaha pompa bensin di Rancaekek, kemudian merambah armada angkutan dan pabrik tenun.[3] Karena usahanya yang maju, pada tahun 1955, Ma’soem dan istri pergi berhaji ke Tanah Suci dan memperoleh makna dari berserah diri dan tawakal kepada Allah.[1] Ma’soem tidak membeda-bedakan orang. Pintu rumahnya selalu terbuka untuk menerima kehadiran siapa saja. Jika ada undangan, ia akan menyempatkan datang. Ma’soem dan Aisyah selalu berbagi tugas dengan jelas. Istri itu ibarat pabeasan, demikian dikatakannya. Keberhasilannya sebagai pengusaha banyak ditunjang jasa istrinya. Menurut pendiriannya, mencari rejeki halal itu mudah dan masih banyak.[4] Hal itu sudah dibuktikannya sendiri dengan syarat mau bekerja keras serta jujur.[1] Melihat usaha yang terus berkembang dan peluang semakin terbuka, pada tahun 1968, Nanang, putra sulung Ma'soem yang berkuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran, menyarankan agar usaha ayahnya diresmikan dalam bentuk perseroan terbatas. Menurut pandangannya, usaha sang ayah yang mulai besar tidak cukup kalau dikelola secara seadanya. Meskipun awalnya Ma’soem menolak, pada tahun 1973 secara de jure PT Ma’soem berdiri. Ma’soem selalu memelihara agar jarak majikan-karyawan atau atasan-bawahan tidak mencolok. Namun ia bisa keras dan tegas, bahkan marah jika menemukan karyawan tidak jujur dan melanggar aturan.[5] Kiprah dalam pendidikanMa’soem memberikan kebebasan kepada anak-anaknya untuk memilih bidang studi, yang terpenting anak-anak harus sekolah, kalau bisa setinggi mungkin, dan tidak melupakan ajaran Islam. Ma’soem juga ingin berbagi keberhasilan dengan orang lain serta memberikan manfaat panjang. Akhirnya didirikanlah Yayasan Pendidikan Al Ma'soem yang bertujuan mendidik anak bangsa dengan motto: "Cageur-bageur-pinter".[1] Ma’soem tergerak beramal di bidang sosial-ekonomi-syariah, membangun masjid dan mushola, juga sarana dan fasilitas kepentingan umum. Diantaranya diwujudkan melalui program pembangunan BPR Syariah, medical centre, dan kolam renang dengan tempat khusus terpisah antara pria dan wanita.[6] Akhir hayatPada tanggal 30 Desember 2001, bertepatan dengan 14 Syawal 1422 H., ba’da magrib, sehabis wiridan dan sholat sunat, Ma’soem bersalaman dengan jamaah masjid. Saat Isya, ia melaksanakan sholat berjamaah, lalu pulang untuk beristirahat. Ia duduk di kursi ditemani anaknya, Nanang dan Ceppy, tiba-tiba napasnya agak sesak. Ma’soem mengucap pelan kalimat tauhid, lalu tampak seperti tidur, yang ternyata ia telah wafat. Karena jiwa sosial Ma'soem, banyak orang yang melayat ke pemakamannnya. Bahkan karena saking banyaknya yang ingin mengusung almarhum, jenasah Ma’soem diestafetkan dari pintu masjid hingga pinggir lubang lahat.[7] Dalam budaya populerRiwayat hidup Haji Ma'soem dijadikan sebuah lagu dengan judul Balada Haji Ma'soem yang dinyanyikan oleh Citra Puspa.[8][9] Lihat pulaReferensi
Pranala luar
|