Mohammad Syafa'at Mintaredja
H. Mohammad Syafaat Mintaredja, S.H. (17 Februari 1921 – 20 Oktober 1984[1][2][3]) adalah seorang politisi dan pejabat pemerintahan yang berkiprah terutama pada masa Orde Baru yang berasal dari Bogor. Ia pernah menjabat sebagai Menteri Negara Penyelenggaraan Hubungan antara Lembaga Tinggi Negara dan Menteri Sosial pada Kabinet Pembangunan I dan II, serta Duta Besar Indonesia di Turki pada masa pemerintahan Presiden Suharto. Ia juga pernah menjadi pimpinan partai politik Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) dan Partai Persatuan Pembangunan serta tergabung dalam beberapa organisasi diantaranya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Muhammadiyah. Lahir dari keluarga Muhammadiyah di Bogor, ia kuliah di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, di Yogyakarta, dan Fakultas Hukum Universitas Leiden, Belanda. Ia memperoleh gelar sarjana hukum di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Sebagai pemuda, ia aktif dalam Gerakan Pemuda Islam Indonesia. Bersama beberapa orang lainnya, ia mendirikan Himpunan Mahasiswa Islam yang berkedudukan di Yogyakarta. Beliau menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Besar HMI periode 1947-1950. Pada Sabtu, 20 Oktober 1984, Mintaredja meninggal dunia dalam usia 63 tahun. Karya tulis dan buah pikiranSampai akhir revolusi kemerdekaan tahun 1949, masih sangat sedikit mahasiswa muslim yang bisa masuk ke perguruan tinggi.[2] Salah seorang di antara mereka adalah Mintaredja yang mengikuti kuliah di Fakultas Hukum BPT Gajah Mada (sekarang Universitas Gajah Mada). Pendidikan yang ia ikuti tersebut kemudian mewarnai pengalaman berorganisasi selanjutnya. Selama hidupnya, Mintaredja telah menulis beberapa buku. Buku-buku yang pernah ia tulis dan diurutkan berdasarkan tahun terbitnya antara lain:
Dalam buku-buku yang ditulisnya itu tampak pandangan Mintaredja yang bersifat moderat tentang Islam. Ia termasuk pengkritik awal tentang keinginan mendirikan negara Islam.[1] Bukan hanya karena bangsa Indonesia bersifat majemuk tetapi juga karena menurutnya tidak ada dasar yang kuat dalam Al Qur’an dan hadits untuk mendirikan negara demikian. Mintaredja juga mengkritik Masyumi yang terlalu menekankan masalah ideologi dan mengabaikan masalah ekonomi dan kesejahteraan yang sebetulnya sama pentingnya.[1] Rupanya pandangan demikianlah yang membuat Mintaredja dapat masuk ke lingkaran dalam pemerintahan Orde Baru, setidaknya dalam periode-perode awalnya. Jabatan yang disandangMintaredja tercatat pernah menjadi pimpinan dalam berbagai organisasi dan partai politik, juga pernah menduduki beberapa jabatan dalam pemerintahan. Berikut ini adalah organisasi yang pernah dipimpin dan jabatan yang pernah disandangnya diurutkan berdasarkan kronologi pengangkatannya. Himpunan Mahasiswa IslamMintaredja menjadi ketua HMI mulai tanggal 22 Agustus 1947 atau 6 bulan setelah HMI berdiri 5 Februari 1947.[4] Pada saat itu, salah seorang pendiri sekaligus ketua HMI sebelumnya, Lafran Pane melakukan penyegaran kepengurusan HMI. Ia memilih Mintaredja untuk menggantikannya menjadi ketua, sementara ia sendiri menjadi wakil ketua. Pada saat terpilih, Mintaredja sedang menjadi mahasiswa BPT Gajah Mada (sekarang Universitas Gajah Mada). Dengan terpilihnya seorang mahasiswa dari perguruan tinggi umum dan bukan perguruan tinggi Islam, HMI memperluas aksesnya. HMI juga terhindar dari kesan bahwa organisasi ini hanya milik mahasiswa Sekolah Tinggi Islam sebagai tempat kuliah ketua sebelumnya. Selanjutnya pada Kongres II HMI, Mintaredja kembali dikukuhkan menjadi Ketua PB HMI untuk periode tahun 1947 sampai 1951. Namun pada bulan Desember 1948, terjadi Agresi Militer Belanda II. Yogyakarta diduduki Belanda, sehingga para pengurus HMI terpencar. Saat itu, Mintaredja bertugas di luar Yogyakarta sehingga pimpinan HMI diserahkan kembali kepada Lafran Pane. Menteri Negara Penyelenggaraan Hubungan antara Pemerintah dengan MPR, DPR-GR, dan DPAJabatan pertama Mintaredja dalam kabinet adalah saat ia diangkat menjadi Menteri Negara Bidang Penyelenggaraan hubungan antara pemerintah dengan MPR/DPRGR dan DPA pada Kabinet Pembangunan I. Kabinet tersebut terbentuk tanggal 6 Juni 1968 dan dilantik pada tanggal 10 Juni 1968. Pada 9 September 1971 atau 66 hari setelah Pemilu tahun 1971, diadakan perombakan kabinet. Beberapa menteri diberhentikan atau dipindahtugaskan. Mintaredja juga termasuk yang dipindahtugaskan karena bidang garapan yang lama dihapus setelah perombakan.[5] Ia menempati posisi baru sebagai Menteri Sosial menggantikan pejabat sebelumnya yaitu Albert Mangaratua Tambunan. Partai Muslimin Indonesia (Parmusi)Mintaredja menjadi Ketua Parmusi ketika partai itu sedang mengalami konflik yang tajam di kalangan internal partai.[6] Saat itu terjadi pertentangan antara kelompok Djarnawi Hadikusumo dengan kelompok Djaelani Naro. Dalam situasi demikian, kedua belah pihak yang bertikai menyerahkan masalah kepemimpinan partai itu sepenuhnya kepada Presiden Suharto.[7] Presiden kemudian turun tangan dan menyelesaikan masalah dengan cara memberikan jabatan partai kepada Mintaredja,[8] seorang tokoh Muhammadiyah yang saat itu tengah menjabat sebagai menteri negara. Pemerintah melihat bahwa kedua belah pihak menyetujui kebijaksanaan yang diambil oleh presiden saat itu.[7] Namun ada yang menganggap bahwa peristiwa yang dialami Parmusi itu sebenarnya adalah salah satu bentuk intervensi dan rekayasa yang dilakukan pemerintah orde baru terhadap partai-partai politik, terutama partai yang membawa aspirasi agama (Islam), untuk mengendalikan kehidupan partai tersebut.[6][9] Pengangkatan Mintaredja sebagai ketua juga dianggap membuat Parmusi hanya sebagai pengakomodasi kebijakan-kebijakan pemerintah, sangat berbeda dengan cita-cita para pendirinya yang mengharapkan Parmusi dapat menjadi reinkarnasi Partai Masyumi yang kritis.[10] Bagaimanapun, Mintaredja tetap menjadi pimpinan sampai partai ini mengalami fusi pada tahun 1973. Pada masa kepemimpinan Mintaredja, Parmusi mengikuti Pemilu tahun 1971. Saat itu partai tersebut mendapatkan 2.930.746 suara (5,36%) serta memperoleh 24 kursi di DPR atau urutan ketiga terbesar setelah Golkar dan Partai Nahdlatul Ulama.[11] Menteri SosialPeriode pertama jabatan sebagai menteri sosial disandang Mintaredja mulai tanggal 9 September 1971 sampai tanggal 28 Maret 1973, yaitu di Kabinet Pembangunan I pasca perombakan. Pada saat itu, ia masih mejabat sebagai pimpinan Parmusi. Jabatan tersebut kembali disandangnya pada Kabinet Pembangunan II, mulai tanggal 28 Maret 1973 sampai dengan tanggal 29 Maret 1978. Salah satu gagasan kontroversial Departemen Sosial pada periode itu, tepatnya pada tahun 1974, adalah dimunculkannya sistem perjudian yang disebut ‘’forecast’’. Pemerintah sampai merasa perlu untuk mengirimkan tim guna mempelajari sistem perjudian tersebut ke Inggris, tempat sistem ini pertama kali diperkenalkan. Setelah dua tahun ditelaah, Departemen Sosial berpendapat ‘’forecast’’ mempunyai sistem yang sangat sederhana serta tidak menimbulkan kesan judi semata.[12][13] Walaupun demikian, penerapan gagasan tersebut yang berupa Kupon Berhadiah Porkas Sepak Bola baru diresmikan, diedarkan, dan dijual sebelas tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 28 Desember 1985 saat menteri sosial dijabat oleh Ny. Nani Soedarsono, S.H.. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)Mintaredja sebagai Ketua Umum Parmusi menjadi salah satu dari lima orang deklarator PPP pada tanggal 5 Januari 1973.[14] Keempat deklarator lainnya adalah:
Selanjutnya, Idham Chalid yang berasal dari NU, kelompok paling dominan dalam PPP, diangkat menjadi presiden partai. Jabatan tersebut cukup bergengsi tetapi kurang berpengaruh sebagaimana jabatan Ketua Umum DPP partai yang ditempati Mintaredja.[15] Presiden Suharto juga turut merestui kepemimpinan PPP yang baru terbentuk tersebut dan menyatakan rasa syukurnya sebab fusi bekas partai-partai Islam itu telah memenuhi ketetapan MPR[16] dan dijalankan secara demokratis.[17] Akan tetapi dalam perjalanan selanjutnya, PPP beberapa kali mengalami perbenturan dengan pemerintah dalam sidang di DPR. Salah seorang tokoh yang vokal dan menentukan dalam partai adalah Kiai Haji Bisri Syansuri yang menjabat sebagai presiden Majelis Syuro dan berasal dari NU. Pertentangan terjadi misalnya saat RUU Perkawinan dibawa ke sidang DPR pada tahun 1973.[15] PPP menolak RUU tersebut karena berisi aturan-aturan yang bertentangan dengan hukum Islam. Walaupun demikian Mintaredja secara pribadi bersama Mukti Ali, menteri agama pada saat itu, termasuk kepada kelompok yang menyetujui RUU tersebut. Mintaredja bahkan menyatakan bahwa RUU tersebut adalah produk pemikiran terbaik dan tidak bertentangan dengan Islam. Namun 20 tahun kemudian, dalam sebuah wawancara Mukti Ali mengungkapkan bahwa persetujuan mereka saat itu karena sedang berada dalam tekanan.[1] Konfrontasi selanjutnya terjadi saat Pemilu 1977. Saat itu ada pemaksaan kepada rakyat dari pihak militer dan penguasa sipil untuk memilih Golkar disertai adanya kekerasan-kekerasan pada juru kampanye PPP.[15] Namun hasil pemilu tersebut cukup memuaskan karena PPP mendapat 29 kursi[18] yang berarti ada tambahan 5 kursi dibanding jumlah kursi dalam pemilu sebelumnya dari partai-partai yang kemudian tergabung dalam PPP. Partai ini bahkan memperoleh kemenangan yang penting secara psikologis dengan mengalahkan Golkar di Jakarta dan bahkan memperoleh mayoritas mutlak di Aceh (yang sebelumnya merupakan basis PERTI).[15] Konfrontasi lain yang lebih serius kembali muncul saat membahas Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam Sidang Umum MPR tahun 1978. PPP menentang keras item dalam GBHN tersebut yang menyejajarkan aliran kepercayaan dengan agama sampai-sampai mereka meninggalkan ruang sidang (‘’walk-out’’) pada saat dilakukan voting sehingga dianggap menghina pemerintah dengan ideologinya.[15] Akibatnya kedudukan Mintaredja sebagai Ketua Umum DPP PPP dicopot melalui manipulasi politik yang dijalankan Ali Murtopo. Tanpa ada undangan rapat pengurus apalagi muktamar, Djaelani Naro, rekan dekat Ali Murtopo, mengumumkan dirinya sebagai ketua baru. Suatu proses penggantian pimpinan yang jelas-jelas melanggar anggaran dasar partai.[15] Duta BesarWalaupun banyak yang menentang pendapat bahwa duta besar adalah “jabatan buangan” bagi mereka yang sudah tidak menjabat sebagai menteri,[19] namun jabatan tersebut menjadi jabatan terakhir Mintaredja di pemerintahan setelah tidak dipilih kembali menjadi menteri pada Kabinet Pembangunan III. Negara yang dijadikan tempat bertugasnya sebagai duta besar sampai tahun 1983 adalah Turki.[3] PenghargaanSebagai penghargaan terhadap jasa-jasa Mintaredja, Pemerintah Kota Cimahi mulai tanggal 10 November 2006 menamai salah satu jalan di wilayahnya dengan nama Jalan H. M. S. Mintaredja, S.H.[20] Jalan tersebut berada di Kelurahan Baros tidak jauh dari tempat tinggal Mintaredja di Jalan H. Haris. Jalan sepanjang 1,5 km itu menghubungkan Jalan Baros, Gerbang Tol Baros, dan Jalan Mahar Martanegara. Rujukan
|