Musibah bandar udara Tenerife
Musibah bandar udara Tenerife adalah peristiwa tabrakan dua pesawat Boeing 747 yang beroperasi sebagai KLM Penerbangan 4805 dan Pan Am Penerbangan 1736 di landasan pacu Bandar Udara Los Rodeos[1] (sekarang Bandar Udara Tenerife Utara) di Tenerife, Kepulauan Canaria, Spanyol, pada tanggal 27 Maret 1977. Tabrakan terjadi ketika pesawat KLM melakukan lepas landas, sedangkan pesawat Pan Am, yang tidak tampak oleh pesawat KLM oleh karena kabut, masih berada di landasan pacu dan akan berbelok keluar menuju landasan gelinding. Ledakan dan api yang timbul dari tabrakan kedua pesawat menewaskan seluruh penumpang dan awak pesawat KLM 4805 dan sebagian besar penumpang dan awak pesawat Pan Am 1736, dengan hanya 61 korban selamat di bagian depan pesawat Pan Am.[2][3] Kecelakaan tersebut merupakan kecelakaan terburuk dalam sejarah penerbangan, di mana sebanyak 583 orang tercatat sebagai korban tewas. Sebuah insiden ledakan bom teroris di Bandar Udara Gran Canaria menyebabkan sebagian besar penerbangan yang menuju bandara tersebut dialihkan ke Bandar Udara Los Rodeos, termasuk kedua pesawat yang terlibat dalam peristiwa tabrakan. Dalam waktu singkat, Bandar Udara Los Rodeos dipadati oleh pesawat-pesawat yang dialihkan hingga menutup sebagian landasan gelinding satu-satunya di bandara tersebut, sehingga pesawat yang akan lepas landas terpaksa melakukan taksi di landasan pacu. Sekumpulan kabut tebal melintasi bandara tersebut dan mengurangi jarak pandang, yang menyebabkan awak pilot kedua pesawat dan petugas ATC tidak dapat melihat satu sama lain.[2][3] Penyelidikan yang dilakukan oleh otoritas Spanyol menyimpulkan bahwa penyebab utama dari kecelakaan tersebut adalah keputusan kapten pesawat KLM untuk melakukan lepas landas dengan dasar kepercayaan yang salah bahwa izin lepas landas dari petugas ATC telah diberikan.[4] Penyelidik Belanda lebih menekankan pada kesalahpahaman bersama dalam komunikasi radio antara awak pilot kedua pesawat dan petugas ATC,[5] tetapi pada akhirnya maskapai KLM mengakui bahwa awak pilotnya bertanggung jawab atas kecelakaan tersebut dan setuju untuk memberikan ganti rugi kepada seluruh keluarga dan kerabat korban.[6] Kecelakaan tersebut membawa pengaruh yang berkelanjutan terhadap industri penerbangan, yang secara khusus menekankan pentingnya penggunaan fraseologi standar dalam komunikasi radio. Prosedur kokpit pesawat juga ditinjau ulang dan berkontribusi terhadap pembentukan manajemen sumber daya awak pesawat sebagai bagian mendasar dari pelatihan awak pilot pesawat terbang.[7] Riwayat penerbanganTenerife merupakan perhentian tidak terjadwal kedua penerbangan tersebut. Tujuan kedua penerbangan tersebut adalah Bandar Udara Gran Canaria (juga dikenal sebagai Bandar Udara Las Palmas atau Bandar Udara Gando), yang melayani kota Las Palmas di Pulau Gran Canaria. Baik Pulau Gran Canaria maupun Tenerife berada di wilayah Kepulauan Canaria, sebuah komunitas otonom di Spanyol yang terletak di Samudra Atlantik di lepas pantai barat daya Maroko. KLM Penerbangan 4805KLM Penerbangan 4805 adalah penerbangan sewaan untuk Holland International Travel Group yang bertolak dari Bandar Udara Schiphol Amsterdam di Amsterdam, Belanda.[8] Penerbangan tersebut diawaki oleh Kapten Jacob Veldhuyzen van Zanten,[9] Kopilot Klaas Meurs, dan Juru mesin Willem Schreuder. Pada saat terjadinya kecelakaan, Kapten Veldhuyzen van Zanten adalah kepala instruktur pilot di maskapai KLM yang telah memiliki 11.700 jam terbang, termasuk 1.545 jam dengan Boeing 747. Kopilot Meurs memiliki 9.200 jam terbang, termasuk 95 jam dengan Boeing 747, sedangkan juru mesin Schreuder memiliki 17.031 jam terbang, termasuk 543 jam dengan Boeing 747. Pesawat yang mengoperasikan penerbangan tersebut adalah pesawat Boeing 747-206B registrasi PH-BUF yang diberi nama Rijn (Rhein). Pesawat tersebut pada awalnya membawa 14 orang awak dan 235 orang penumpang, termasuk 52 orang anak-anak. Sebagian besar penumpang merupakan warga negara Belanda, tetapi terdapat pula empat orang warga negara Jerman, dua orang warga negara Amerika Serikat, dan dua orang warga negara Austria. Setelah pesawat mendarat di Tenerife, para penumpang dibawa ke terminal bandara. Salah seorang penumpang yang tinggal di pulau tersebut bersama kekasihnya memilih untuk tidak melanjutkan penerbangannya, sehingga pesawat menjadi membawa 234 orang penumpang.[10][11] Pan Am Penerbangan 1736Pan Am Penerbangan 1736 bertolak dari Bandar Udara Internasional Los Angeles di Los Angeles, dengan perhentian di Bandar Udara Internasional John F. Kennedy di Kota New York, Amerika Serikat. Pesawat yang mengoperasikan penerbangan tersebut adalah pesawat Boeing 747-121 registrasi N736PA yang diberi nama Clipper Victor. Dari 380 orang penumpang (sebagian besar merupakan pensiunan, tetapi termasuk dua orang anak-anak), 14 orang penumpang naik dari New York, di mana juga terdapat pergantian awak penerbangan. Pesawat diawaki Kapten Victor Grubbs (memiliki 21.043 jam terbang, termasuk 564 jam dengan Boeing 747), Kopilot Robert Bragg (memiliki 10.800 jam terbang, termasuk 2.796 jam dengan Boeing 747), dan Juru mesin George Warns (memiliki 15.210 jam terbang, termasuk 559 jam dengan Boeing 747), serta 13 orang awak kabin. Pesawat yang sama secara kebetulan mengoperasikan penerbangan komersial perdana Boeing 747 pada tanggal 22 Januari 1970.[8] Pada tanggal 2 Agustus 1970, di tahun pertama pengoperasiannya, pesawat tersebut juga menjadi Boeing 747 pertama yang mengalami peristiwa pembajakan; dalam sebuah penerbangan dari New York menuju San Juan, Puerto Riko, pesawat dialihkan ke Bandar Udara Internasional José Martí di Havana, Kuba.[12] KronologiPengalihan penerbangan ke Los RodeosKedua penerbangan tersebut berlangsung seperti biasa hingga saat keduanya mendekati Kepulauan Canaria. Pada pukul 13.15, sebuah bom yang dipasang oleh kelompok separatis Gerakan Kemerdekaan Kepulauan Canaria (Movimiento por la Autodeterminación e Independencia del Archipiélago Canario (MPAIAC)) meledak di dalam terminal Bandar Udara Gran Canaria, melukai delapan orang.[13] Sebuah panggilan telepon memberikan peringatan mengenai bom tersebut dan panggilan lain diterima sesaat setelah panggilan pertama yang mengklaim adanya bom kedua di bandara tersebut. Oleh karena peristiwa itu, otoritas penerbangan sipil di Gran Canaria menutup sementara bandara tersebut dan mengalihkan seluruh penerbangan yang menuju Gran Canaria ke Los Rodeos di Tenerife, di mana termasuk pesawat Boeing 747 KLM dan Pan Am.[4] Awak pilot pesawat Pan Am mengklaim bahwa pesawatnya masih memiliki cukup bahan bakar selama dua jam, dan meminta untuk membuat putaran di udara sambil menunggu izin untuk mendarat di Gran Canaria. Namun, permintaan tersebut ditolak dan pesawat diperintahkan untuk mengalihkan penerbangannya ke Tenerife.[14] Bandar Udara Los Rodeos di Tenerife pada saat itu merupakan bandara kecil yang tidak mudah untuk menampung seluruh pesawat yang dialihkan dari Gran Canaria, di mana termasuk lima pesawat berukuran besar.[15] Bandara tersebut hanya memiliki satu landasan pacu dan satu landasan gelinding utama sejajar, di mana keduanya dihubungkan dengan empat landasan gelinding penghubung. Landasan gelinding utama Bandar Udara Los Rodeos perlahan tapi pasti dipenuhi oleh pesawat-pesawat yang dialihkan dari Gran Canaria, sehingga sebagian dari landasan gelinding utama bandara tidak bisa digunakan oleh pesawat yang berangkat untuk bergerak menuju landasan pacu. Sebaliknya, pesawat harus menggunakan landasan pacu sebagai jalur taksi agar dapat melakukan lepas landas. Prosedur tersebut dikenal sebagai backtaxi atau backtrack.[4] Otoritas Bandar Udara Gran Canaria membuka kembali bandara setelah ancaman bom ditangani. Pesawat Pan Am sedianya siap untuk berangkat dari Tenerife, tetapi akses ke landasan pacu terhalang oleh pesawat KLM dan mobil pengisian bahan bakar yang terparkir di depan pesawat Pan Am; kapten pesawat KLM memutuskan untuk mengisi bahan bakar pesawatnya hingga penuh di Tenerife untuk menghemat waktu. Pesawat Pan Am tidak bisa mendahului pesawat KLM agar dapat segera lepas landas, karena jarak aman antara kedua pesawat yang tidak memadai, yaitu sekitar 3,7 meter (12 ft).[10] Pengisian bahan bakar tersebut memakan waktu 35 menit dan baru selesai sesaat setelah seluruh penumpang pesawat KLM naik ke pesawat. Pencarian empat orang penumpang warga negara Belanda yang merupakan satu keluarga menyebabkan penundaan lebih lanjut. Salah seorang penumpang pesawat KLM, yang bekerja sebagai pemandu wisata dan tinggal di Tenerife bersama kekasihnya, menganggap tidak praktis terbang ke Gran Canaria hanya untuk kembali ke Tenerife pada keesokan harinya, dan memilih untuk tidak melanjutkan penerbangannya. Karenanya, ia tidak masuk dalam daftar penumpang pesawat KLM saat kecelakaan terjadi, dan menjadi satu-satunya orang yang selamat dari KLM Penerbangan 4805.[16] Taksi dan persiapan lepas landasPetugas ATC Bandar Udara Los Rodeos menginstruksikan pesawat KLM untuk masuk ke landasan pacu, melakukan taksi di sepanjang landasan pacu, dan berputar balik 180° di ujung landasan pacu 30 untuk bersiap lepas landas.[9] Ketika pesawat KLM sedang melakukan taksi di landasan pacu, petugas ATC meminta awak pilot pesawat KLM untuk melapor jika sudah siap untuk menyalin izin dari petugas ATC. Karena awak pilot pesawat KLM sedang melakukan daftar periksa untuk persiapan lepas landas (pre-takeoff checklist), penyalinan izin tersebut tertunda hingga pesawat berada di posisi bersiap untuk lepas landas dari landasan pacu 30.[9] Tidak lama setelah pesawat KLM masuk ke landasan pacu, pesawat Pan Am diinstruksikan untuk mengikuti pesawat KLM di landasan pacu yang sama, kemudian keluar dari landasan pacu melalui landasan gelinding penghubung nomor tiga di sebelah kiri mereka, dan melakukan taksi di landasan gelinding utama yang sejajar dengan landasan pacu. Ketika mendengar instruksi tersebut, awak pilot pesawat Pan Am pada awalnya tidak yakin apakah petugas ATC meminta mereka untuk keluar di landasan gelinding penghubung pertama atau ketiga. Kopilot Pan Am mengklarifikasi ulang dan petugas ATC menjawab dengan tegas, "The third one, sir; one, two, three; third, third one" (Yang ketiga; satu, dua, tiga; ketiga, yang ketiga). Awak pilot pesawat Pan Am memulai taksi dan mengidentifikasi setiap landasan gelinding penghubung, yang tidak diberi penanda apa pun, menggunakan diagram bandara yang mereka miliki saat mendekati salah satunya.[9] Awak pilot pesawat Pan Am berhasil mengidentifikasi dua landasan gelinding penghubung pertama (C-1 dan C-2), tetapi pembicaraan mereka tidak pernah mengindikasikan bahwa mereka melihat landasan gelinding penghubung ketiga (C-3), di mana pesawat diinstruksikan untuk keluar dari landasan pacu.[9] Tidak ada penanda atau rambu untuk mengenali landasan gelinding penghubung, yang diperparah dengan kondisi jarak pandang di Bandar Udara Los Rodeos yang saat itu memburuk. Awak pilot pesawat Pan Am tampaknya tetap tidak yakin dengan posisi pesawatnya di landasan pacu hingga peristiwa tabrakan dengan pesawat KLM, yang terjadi di dekat landasan gelinding penghubung keempat (C-4).[9] Sudut belok landasan gelinding penghubung ketiga (C-3), di mana pesawat Pan Am diminta untuk keluar dari landasan pacu menuju landasan gelinding utama, mengharuskan pesawat untuk membuat belokan 148°, yang mengarahkan pesawat Pan Am kembali ke pelataran bandara yang penuh dengan pesawat lain. Pada ujung lain dari landasan gelinding penghubung C-3, pesawat Pan Am harus kembali melakukan belokan 148° agar dapat melanjutkan taksi ke ujung landasan pacu 30. Manuver tersebut mirip dengan membuat huruf "Z" yang dicerminkan. Landasan gelinding penghubung keempat (C-4) hanya memerlukan belokan 35°. Sebuah kajian yang dilakukan oleh Asosiasi Pilot Maskapai Penerbangan (ALPA) setelah kecelakaan menyimpulkan bahwa melakukan belokan 148° di masing-masing ujung landasan gelinding penghubung C-3 bagi sebuah pesawat Boeing 747 adalah "mustahil pada praktiknya".[17] Laporan resmi dari otoritas Spanyol menjelaskan bahwa petugas ATC Los Rodeos meminta pesawat Pan Am untuk menggunakan landasan gelinding penghubung C-3 karena landasan ini merupakan jalur keluar terdekat yang dapat digunakan oleh pesawat Pan Am untuk mencapai bagian landasan gelinding utama yang tidak terhalang oleh pesawat lain.[9] Kondisi cuaca di Los RodeosBandar Udara Los Rodeos terletak di ketinggian 633 meter (2.077 ft) di atas permukaan laut, yang memberikan pengaruh cuaca yang berbeda dari bandara pada umumnya. Awan yang berketinggian 600 m (2.000 ft) di atas permukaan daratan di dekat pantai akan berada di ketinggian yang sama dengan Bandar Udara Los Rodeos. Pergerakan awan yang memiliki ketebalan berbeda-beda menyebabkan jarak pandang yang tidak menentu, dari yang awalnya tidak terbatas pada saat pertama bisa menjadi di bawah batas aman pada saat berikutnya. Peristiwa tabrakan terjadi pada saat kondisi awan tebal.[17] Awak pilot pesawat Pan Am mendapati posisi mereka dalam jarak pandang yang memburuk dengan cepat sesaat setelah pesawat masuk ke landasan pacu. Menurut laporan ALPA, ketika pesawat Pan Am akan memasuki landasan pacu, jarak pandang berkisar di 500 m (1.600 ft). Tidak lama kemudian, setelah pesawat masuk ke landasan pacu, jarak pandang turun menjadi kurang dari 100 m (330 ft).[17] Pada saat yang bersamaan, pesawat KLM masih mendapatkan jarak pandang yang baik, tetapi pergerakan awan di landasan pacu sudah mengarah ke pesawat KLM. Pesawat KLM menyelesaikan putaran balik 180° dalam keadaan cuaca yang relatif cerah dan bersiap di ujung landasan pacu 30. Awan terdekat berada di sekitar 900 m (3.000 ft) di landasan pacu dan bergerak ke arah pesawat KLM dengan kecepatan 12 knot (22 km/h).[17] Kesalahpahaman komunikasi
Sesaat setelah berada di posisi bersiap untuk lepas landas, Kapten Veldhuyzen van Zanten sedikit mendorong tuas daya mesin dan pesawatnya terasa bergerak sedikit.[9] Kopilot Meurs mengingatkan sang kapten bahwa petugas ATC belum memberikan izin, dan Kapten Veldhuyzen van Zanten menjawab, "No, I know that, go ahead, ask." Meurs kemudian memberitahu petugas ATC bahwa pesawatnya telah "bersiap untuk lepas landas" dan "menunggu izin ATC". Awak pilot pesawat KLM kemudian menerima instruksi dari petugas ATC yang menjelaskan rute yang akan diterbangi pesawat setelah lepas landas (takeoff). Instruksi tersebut menyisipkan kata "takeoff", tetapi tidak menyertakan pernyataan yang jelas bahwa pesawat KLM diizinkan untuk melakukan lepas landas. Kopilot Meurs mengulangi pembacaan izin tersebut, melengkapi kalimatnya dengan pernyataan, "We are now at take-off".[4] Kapten Veldhuyzen van Zanten memotong pembacaan ulang Kopilot Meurs dengan kalimat, "We gaan".[4] Petugas ATC Los Rodeos, yang tidak dapat melihat kedua pesawat oleh karena kabut, awalnya membalas dengan kata "OK" (istilah yang tidak baku), yang memperkuat kesalahpahaman kapten pesawat KLM bahwa pesawatnya telah mendapatkan izin untuk lepas landas. Respon dari petugas ATC dengan kata "OK" atas pernyataan tidak standar kopilot pesawat KLM, yang ditambah dengan pernyataan "now at takeoff", besar kemungkinan karena kesalahpahaman petugas ATC yang meyakini bahwa pesawat KLM masih berada di posisi bersiap untuk lepas landas dan akan lepas landas begitu izin lepas landas diberikan, tetapi belum melakukan proses lepas landas. Petugas ATC dengan cepat menambahkan pernyataan "OK" tersebut dengan kalimat, "Stand by for takeoff, I will call you",[4] yang mengindikasikan bahwa sang petugas ATC tidak bermaksud menyatakan instruksinya sebagai izin lepas landas.[23] Panggilan radio dari awak pilot pesawat Pan Am pada saat yang bersamaan menimbulkan gangguan transmisi pada frekuensi radio, yang terdengar jelas di kokpit pesawat KLM sebagai suara keresek (atau heterodyne) selama tiga detik. Gangguan transmisi radio tersebut menyebabkan awak pilot pesawat KLM tidak dapat mendengar bagian penting dari respon balik petugas ATC, yaitu "Stand by for takeoff, I will call you". Awak pilot pesawat Pan Am yang bereaksi dengan berkata, "And we're still taxiing down the runway, the Clipper one seven three six!" juga tidak dapat terdengar oleh awak pilot pesawat KLM. Jika salah satu pesan tersebut terdengar di kokpit pesawat KLM, pesan tersebut dapat memperingatkan awak pilot pesawat KLM akan situasi yang sedang terjadi dan memberikan mereka waktu untuk membatalkan lepas landas.[24] Oleh karena turunnya kabut, kedua awak pilot pesawat tidak dapat melihat satu sama lain dan kedua pesawat juga tidak dapat terlihat dari menara ATC. Bandar Udara Los Rodeos saat itu juga tidak dilengkapi dengan radar pemantau pergerakan pesawat di darat.[4] Setelah pesawat KLM memulai proses lepas landas, petugas ATC meminta awak pilot pesawat Pan Am untuk melapor saat keluar dari landasan pacu. Awak pilot pesawat Pan Am menjawab, "OK, we'll report when we're clear." Ketika mendengar pesan tersebut, juru mesin pesawat KLM mengutarakan kekhawatirannya mengenai pesawat Pan Am yang belum keluar dari landasan pacu dengan bertanya kepada kedua pilot di kokpitnya, "Is hij er niet af, die Pan American?". Kapten Veldhuyzen van Zanten menjawab dengan tegas, "Jawel!" dan melanjutkan proses lepas landas.[5] TabrakanBerdasarkan transkrip perekam suara kokpit (CVR), kapten pesawat Pan Am berkata, "There he is..." ketika ia melihat lampu roda pendaratan pesawat KLM di tengah kabut ketika pesawatnya mendekati landasan gelinding penghubung C-4. Ketika tampak jelas bahwa pesawat KLM mendekati pesawatnya dengan kecepatan tinggi, Kapten Grubbs berseru, "Goddamn that son-of-a-bitch is coming!", sedangkan Kopilot Bragg berteriak, "Get off! Get off! Get off!". Kapten Grubbs mendorong tuas daya mesin pesawatnya hingga penuh dan membuat belokan tajam ke kiri menuju rerumputan dalam upaya untuk menghindari tabrakan.[4] Ketika kedua pilot pesawat KLM melihat pesawat Pan Am sedang berupaya keluar dari landasan pacu, mereka sadar sudah terlambat untuk menghindari tabrakan. Tertekan dengan keadaan, kedua pilot pesawat KLM menarik hidung pesawat ke atas dalam upaya untuk menghindarkan pesawat dari menabrak pesawat Pan Am, dan meninggalkan bekas tailstrike di landasan pacu sejauh 22 m (72 ft).[4] Pesawat 747 KLM berada di sekitar 100 m (330 ft) dari bagian atas pesawat 747 Pan Am dan melaju dengan kecepatan sekitar 140 knot (260 km/h) ketika pesawat meninggalkan landasan. Roda pendaratan bagian depan pesawat KLM berhasil menghindar dari menabrak pesawat Pan Am, tetapi kedua mesin di sebelah kiri, badan bagian bawah, dan roda pendaratan utamanya menabrak bagian atas kanan pesawat Pan Am,[10] dan menghancurkan bagian tengah pesawat Pan Am hampir tepat di atas sayap. Kedua mesin bagian kanan pesawat KLM menabrak bagian dek atas pesawat Pan Am tepat di belakang kokpit. Pesawat KLM sempat mengudara selama beberapa saat, tetapi tabrakan tersebut menghancurkan mesin nomor satu, yang menyebabkan sebagian besar serpihan mesin tersebut tersedot mesin nomor dua yang letaknya lebih dekat ke badan pesawat, dan merusak sayapnya. Pesawat kehilangan ketinggian dengan cepat, berguling tajam ke bawah, dan menghantam daratan sekitar 150 m (500 ft) dari lokasi tabrakan, kemudian meluncur di landasan sejauh 300 m (1.000 ft). Tangki bahan bakar yang penuh, yang menyebabkan penundaan sebelumnya, langsung meledak dan membuat kobaran api yang tidak dapat ditangani selama beberapa jam. Salah seorang penumpang pesawat Pan Am mengatakan bahwa duduk di bagian depan pesawat telah menyelamatkan dirinya: "Kami semua duduk, dan hal berikutnya yang terjadi adalah ledakan dan seluruh bagian depan dan kiri pesawat terbuka lebar."[25] Kedua pesawat hancur dalam tabrakan tersebut. Seluruh 248 orang penumpang dan awak di pesawat KLM tewas, begitu pula dengan 335 orang penumpang dan awak di pesawat Pan Am,[26] terutama karena ledakan dan api sebagai akibat dari bahan bakar pesawat yang tumpah dan terbakar pada saat tabrakan terjadi. Sebanyak 61 orang penumpang dan awak di pesawat Pan Am berhasil selamat, termasuk ketiga awak kokpit. Sebagian besar penumpang di pesawat Pan Am keluar melalui sayap kiri yang masih utuh dengan mesin pesawat yang masih hidup. Upaya Kopilot Bragg untuk mematikan mesin pun sia-sia; panel di atas kokpit, di mana tuas penyalaan mesin berada, hancur pada saat tabrakan, merusak seluruh kabel pengendali pesawat, sehingga tidak ada lagi cara yang dapat dilakukan oleh awak kokpit untuk mengatur sistem pesawat. Para korban selamat di pesawat Pan Am menunggu untuk diselamatkan, tetapi bantuan tidak segera datang, karena petugas pemadam kebakaran bandara pada awalnya tidak mengetahui bahwa terdapat dua pesawat yang terlibat, dan mereka sudah dibuat sibuk dengan bangkai pesawat KLM yang berada beberapa ratus meter jauhnya di tengah kabut dan asap tebal. Akhirnya, sebagian besar korban selamat yang berada di atas sayap kiri pesawat Pan Am jatuh ke daratan.[10] Kapten Veldhuyzen van Zanten adalah kepala instruktur pilot dan juga salah satu pilot berpengalaman di maskapai KLM. Sekitar dua bulan sebelum kecelakaan, Veldhuyzen van Zanten melakukan uji kualifikasi terhadap Meurs, kopilot KLM Penerbangan 4805.[11] Gambar potret dirinya digunakan sebagai bahan publikasi seperti iklan majalah, termasuk majalah penerbangan di dalam pesawat PH-BUF.[10][27] Maskapai KLM pada awalnya ingin meminta Veldhuyzen van Zanten agar membantu proses penyelidikan kecelakaan, tidak menyadari bahwa sang kapten sudah terlibat langsung dalam kecelakaan tersebut.[28] Pasca-kecelakaanPada keesokan harinya, Gerakan Kemerdekaan Kepulauan Canaria, yang bertanggung jawab atas peristiwa pengeboman di Bandar Udara Gran Canaria dan secara tidak langsung memulai rangkaian peristiwa yang berujung pada musibah di Bandar Udara Los Rodeos, menolak bertanggung jawab atas musibah tersebut.[29] Bandar Udara Los Rodeos yang merupakan bandara satu-satunya yang beroperasi di Tenerife saat itu, ditutup untuk seluruh lalu lintas pesawat terbang selama dua hari. Tim penyelidik kecelakaan pertama yang tiba di Tenerife sehari setelah kecelakaan melakukan perjalanan menggunakan kapal selama tiga jam dari Las Palmas.[30] Pesawat terbang pertama yang dapat mendarat di Los Rodeos sejak peristiwa tabrakan adalah sebuah pesawat angkut C-130 Hercules milik Angkatan Udara Amerika Serikat yang mendarat di landasan gelinding utama bandara pada pukul 12.50 tanggal 29 Maret. Pesawat tersebut digunakan untuk mengangkut para korban yang telah ditangani rumah sakit setempat ke Las Palmas; sebagian besar korban juga diterbangkan ke pangkalan militer di Amerika Serikat untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut.[31][32] Tentara Angkatan Darat Spanyol ditugaskan untuk membersihkan puing-puing kedua pesawat dari landasan pacu dan landasan gelinding utama bandara. Pada tanggal 30 Maret, pesawat kecil diperbolehkan mendarat, tetapi pesawat besar belum diperbolehkan.[33] Bandar Udara Los Rodeos kembali dibuka sepenuhnya pada tanggal 3 April, setelah seluruh puing-puing kedua pesawat dibersihkan dan dilakukan perbaikan terhadap landasan pacu bandara.[34] PenyelidikanKecelakaan ini diselidiki oleh Komisi Investigasi Kecelakaan dan Insiden Penerbangan Sipil Spanyol (Comisión de Investigación de Accidentes e Incidentes de Aviación Civil (CIAIAC)).[4] Sekitar 70 personel dilibatkan dalam penyelidikan, termasuk perwakilan dari Amerika Serikat dan Belanda[4] serta maskapai KLM dan Pan Am.[35] Sejumlah fakta menunjukkan bahwa telah terjadi kesalahpahaman dan kesalahan asumsi sebelum peristiwa tabrakan. Analisis terhadap transkrip CVR mengungkap bahwa awak pilot pesawat KLM mengira bahwa mereka telah diizinkan untuk lepas landas, sedangkan petugas ATC Los Rodeos yakin pesawat KLM masih berhenti di ujung landasan pacu dan menunggu izin lepas landas. Tampaknya kopilot KLM tidak begitu yakin dengan izin lepas landas seperti kaptennya. Kemungkinan penyebabPenyelidikan menyimpulkan bahwa penyebab utama dari kecelakaan ini adalah keputusan Kapten Veldhuyzen van Zanten untuk melakukan lepas landas tanpa izin dari petugas ATC. Para penyelidik menduga bahwa alasan dari keputusan Veldhuyzen van Zanten adalah agar pesawatnya dapat terbang sesegera mungkin untuk mematuhi peraturan durasi bertugas awak KLM (yang diberlakukan pada awal tahun itu) dan sebelum cuaca terus memburuk. Faktor lain yang berkontribusi terhadap kecelakaan adalah
Faktor-faktor berikut juga dianggap berkontribusi, tetapi tidak secara kritis
Tanggapan BelandaOtoritas Belanda enggan menerima laporan Spanyol yang menetapkan kesalahan pada kapten pesawat KLM atas kecelakaan tersebut.[36] Departemen Penerbangan Sipil Belanda mengeluarkan tanggapan bahwa, meskipun menerima bahwa kapten pesawat KLM melakukan lepas landas "sebelum diizinkan", pihak Belanda berargumen bahwa kapten pesawat KLM tidak bisa disalahkan atas "kesalahpahaman bersama" yang terjadi antara petugas ATC Los Rodeos dan awak pilot pesawat KLM, dan bahwa keterbatasan atas penggunaan radio sebagai alat komunikasi harus lebih dipertimbangkan. Secara rinci, tanggapan Belanda menjelaskan bahwa
Meskipun otoritas Belanda pada awalnya enggan untuk menetapkan kesalahan pada Kapten Veldhuyzen van Zanten dan para awaknya,[5][37] maskapai KLM pada akhirnya mengakui bahwa pihaknya bertanggung jawab atas kecelakaan tersebut. Berdasarkan nilai kurs saat itu, KLM membayar keluarga korban dengan ganti rugi antara senilai US$ 58 ribu hingga US$ 600 ribu.[6] Jumlah biaya ganti rugi atas kerusakan dan properti korban adalah US$ 110 juta, atau rata-rata US$ 189 ribu untuk setiap korban,[38] karena pembatasan yang diterapkan oleh Konvensi Kompensasi Eropa yang berlaku pada saat itu. SpekulasiKecelakaan ini menjadi salah satu penyelidikan kecelakaan pertama yang memasukkan kajian terhadap "faktor manusia"[17]
Keputusan kapten pesawat KLM untuk mengisi bahan bakar menambah faktor-faktor berikut
DampakSebagai konsekuensi dari kecelakaan tersebut, perubahan secara menyeluruh dilakukan terhadap regulasi maskapai penerbangan internasional dan juga operasional pesawat terbang. Otoritas penerbangan di seluruh dunia memperkenalkan kebutuhan fraseologi standar dan menekankan pentingnya penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa kerja standar dalam industri penerbangan.[14] Pesan instruksi dari petugas ATC tidak boleh diterima begitu saja dengan frase umum seperti "OK" atau bahkan "Roger" (yang berarti pesan instruksi terakhir telah diterima),[43] tetapi mengulangi pesan instruksi tadi dengan menekankan poin penting dari pesan instruksi tersebut, agar terbentuk kesepahaman dari pihak yang mengucapkan dan yang mendengarkan. Kata "takeoff" saat ini digunakan hanya jika izin lepas landas yang sebenarnya telah diberikan oleh petugas ATC, atau ketika pilot membatalkan izin lepas landas yang telah diberikan (contohnya "cleared for takeoff" atau "cancel takeoff clearance"). Sebelum mencapai titik percakapan itu, baik awak pilot dan petugas ATC harus menggunakan kata "departure" sesuai penggunaannya (contohnya "ready for departure"). Selain itu, pesan instruksi dari petugas ATC yang diberikan kepada pesawat yang sudah berada di atas landasan pacu harus diawali dengan pesan instruksi "hold position".[43] Prosedur kokpit turut diubah setelah kecelakaan ini. Hubungan hierarki antara anggota awak kokpit dikurangi dan lebih mengutamakan kerja sama antar seluruh anggota awak kokpit melalui pengambilan keputusan bersama. Anggota awak kokpit yang kurang berpengalaman didorong untuk menentang kapten jika sang awak percaya ada sesuatu yang salah, dan kapten harus mendengarkan rekan kerjanya serta mengevaluasi seluruh pertimbangan atas dasar kekhawatiran para anggota awak. Tindakan ini kemudian dikembangkan menjadi apa yang dikenal sebagai pelatihan manajemen sumber daya awak pesawat (CRM). Pelatihan CRM telah diwajibkan dalam program pelatihan pilot pesawat terbang sejak tahun 2006.[44][45][46] Pada tahun 1978, sebuah bandara kedua dibuka di selatan Pulau Tenerife – Bandar Udara Tenerife Selatan (TFS) – yang saat ini melayani sebagian besar penerbangan internasional. Los Rodeos diubah namanya menjadi Bandar Udara Tenerife Utara (TFN), yang digunakan khusus untuk penerbangan domestik dan antarpulau hingga tahun 2002, ketika sebuah terminal baru dibuka dan bandara ini kembali melayani penerbangan internasional. Pemerintah Spanyol memasang sistem radar pemantau pergerakan pesawat di darat di Bandar Udara Tenerife Utara setelah kecelakaan ini.[14][47] MemorialSebuah monumen peringatan dan tempat pemakaman korban pesawat KLM warga negara Belanda berlokasi di Amsterdam, di pemakaman Westgaarde. Terdapat pula monumen peringatan di Taman Pemakaman Westminster di Westminster, California. Pada tahun 1977, sebuah monumen salib di Rancho Bernardo didedikasikan kepada sembilan belas warga daerah tersebut yang menjadi korban tewas dalam kecelakaan ini.[48][49] Pada tanggal 27 Maret 2007, tepat di 30 tahun peringatan musibah Tenerife, menjadi kali pertama keluarga dan kerabat para korban dari Amerika Serikat dan Belanda serta petugas penolong dari Tenerife bergabung dalam sebuah acara peringatan yang diselenggarakan di Auditorio de Tenerife di Santa Cruz. Sebuah monumen peringatan internasional 27 Maret 1977 diresmikan pada hari yang sama di Mesa Mota. Monumen peringatan tersebut didesain oleh ahli patung Belanda Rudi van de Wint.[50] Dalam budaya populerKecelakaan ini telah menjadi tema sejumlah tayangan dokumenter. Beberapa di antaranya adalah acara Survival in the Sky berjudul "Blaming the Pilot", acara Seconds from Disaster berjudul "Collison on the Runway", acara PBS NOVA berjudul "The Deadliest Plane Crash",[11] acara PBS Surviving Disaster: How the Brain Works Under Extreme Duress (berdasarkan buku The Unthinkable: Who Survives When Disaster Strikes - and Why yang ditulis oleh Amanda Ripley), acara Destroyed in Seconds, dan dua episode acara Air Crash Investigation berupa dokumenter standar berjudul "Disaster at the Tenerife" dan spin-off yang dirilis lebih awal berjudul "Crash of the Century". Sejumlah rekaman dari kecelakaan ini juga dimasukkan ke dalam film "Days of Fury" pada tahun 1979 yang dibawakan oleh Vincent Price. Lihat pulaReferensi
Bacaan lebih lanjut
Pranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai Musibah bandar udara Tenerife.
|