Pembenaran (teologi)Pembenaran atau justifikasi, dalam teologi Kristen, adalah tindakan Allah menghapuskan kebersalahan dan hukuman dari dosa sementara pada saat bersamaan menyatakan benar seorang berdosa melalui pengurbanan Kristus yang mendamaikan. Dalam Protestanisme, kebenaran dari Allah dipandang sebagai sesuatu yang diperhitungkan kepada orang berdosa melalui iman saja, tanpa perbuatan baik. Sarana atau cara memperoleh pembenaran merupakan ranah perbedaan yang signifikan antara Katolik/Ortodoks Timur dengan Protestan. Secara garis besar, Kristen Katolik dan Ortodoks membedakan antara pembenaran awal, yang dipandang terjadi pada saat baptisan, dengan pembenaran permanen, yang dicapai setelah seumur hidup berjuang melakukan kehendak Allah. Kebanyakan kalangan Protestan meyakini bahwa pembenaran adalah suatu tindakan tunggal yang di dalamnya Allah menyatakan seorang individu yang tidak benar menjadi benar, suatu tindakan yang dipandang dimungkinkan karena Kristus "dibuat-Nya menjadi dosa" secara hukum ketika tergantung di atas kayu salib (2 Korintus 5:21). Pembenaran diberikan kepada semua orang yang beriman, dan dianggap sebagai suatu anugerah dari Allah tanpa melihat jasa atau kelayakan, menurut kalangan Lutheran dan Calvinis, yang menggunakan Efesus 2:8, Kisah 16:14, dan Filipi 1:29 untuk mendukung keyakinan tersebut. Kalangan Katolik dan Ortodoks Timur menggunakan Yakobus 2:14-26, Galatia 5:19-21, dan Matius 19:17-19 untuk mendukung keyakinan bahwa pembenaran dipertahankan dengan menghindari dosa-dosa berat. Kalangan Protestan melihat pembenaran sebagai 'garis patahan' teologis yang memisahkan Katolik dengan Protestan selama Reformasi Protestan.[1] Referensi biblikaPerjanjian BaruYesus menggunakan gagasan tentang "tebusan" atau penebusan ketika mengacu pada karya pelayanan-Nya di bumi (Matius 20:28; Markus 10:45). Wafat dan kebangkitan Kristus, yang dipandang sebagai kemenangan-Nya atas Setan dan kematian/maut, memberikan justifikasi atau pembenaran bagi orang-orang percaya di hadapan Allah. Kebenaran atau keadilan-Nya menjadi milik mereka, dan wafat-Nya menjadi suatu persembahan bagi Allah sebagai pengganti mereka, untuk membayar dosa-dosa mereka. Menurut kalangan Protestan, pembenaran ini hanya berdasarkan iman—bukan melalui perbuatan baik—dan merupakan suatu anugerah dari Allah melalui Kristus. Menurut kalangan Katolik dan Ortodoks, pembenaran ini merupakan suatu anugerah bebas atau cuma-cuma tetapi diterima melalui baptisan pada awalnya dan melalui Sakramen Rekonsiliasi apabila pembenaran yang telah diterima menjadi hilang karena dosa berat. Keselamatan melalui iman sajaAyat-ayat berikut umum digunakan sebagai dasar pandangan yang mengatakan bahwa keselamatan diperoleh melalui iman saja (sola fide):
Keselamatan melalui baptisan dan menghindari dosa seriusAyat-ayat berikut umum digunakan sebagai dasar pandangan yang mengatakan bahwa keselamatan diperoleh melalui baptisan dan menghindari dosa serius:[2][3]
Iman dan perbuatan
Deklarasi Bersama tentang Doktrin Pembenaran, yang ditandatangani oleh Federasi Lutheran se-Dunia dan Gereja Katolik Roma pada tanggal 31 Oktober 1999, secara jelas menyatakan bahwa "terdapat konsensus dalam hal kebenaran-kebenaran dasar dari doktrin pembenaran di antara kalangan Lutheran dan Katolik".[4] Dalam doktrin-doktrin Katolik Roma dan Lutheran, sebagaimana yang diungkapkan pada bagian 4.7 no.37, "kita mengakui bersama bahwa perbuatan-perbuatan baik – kehidupan seorang Kristen yang dihidupi dalam iman, harapan, dan kasih – mengikuti pembenaran dan merupakan buah-buahnya. Ketika orang-orang yang dibenarkan hidup dalam Kristus dan bertindak dalam kasih karunia yang mereka terima, mereka menghasilkan, dalam istilah biblis, buah yang baik. Karena umat Kristen berjuang melawan dosa sepanjang hidup mereka, konsekuensi dari pembenaran ini adalah juga bagi mereka suatu kewajiban yang harus mereka penuhi. Oleh karena itu, baik Yesus maupun Tulisan Suci dari para rasul memperingatkan umat Kristen agar menghasilkan karya-karya kasih." Deklarasi tersebut menyatakan bahwa beberapa pandangan teologis mengenai pembenaran dipegang oleh kalangan Lutheran dan Katolik, kendati tampak tidak serupa satu sama lain, sebenarnya menjelaskan kesamaan "kebenaran-kebenaran dasar dari doktrin pembenaran" namun dipandang dari sudut-sudut berbeda. Salah satu contoh dapat dikutip dari bagian 4.7 no. 38-39, "ketika umat Katolik menegaskan sifat 'berjasa' (atau bernilai/berharga) dari perbuatan-perbuatan baik, mereka hendak mengatakan bahwa, menurut kesaksian biblis, suatu penghargaan dalam surga dijanjikan untuk perbuatan-perbuatan ini. Maksud mereka adalah untuk menekankan tanggung jawab orang-orang atas perbuatan-perbuatan mereka, bukan untuk menentang sifat dari perbuatan-perbuatan itu sebagai anugerah-anugerah, atau terlebih lagi bukan untuk menyangkal bahwa pembenaran tetap selalu merupakan anugerah kasih karunia tanpa usaha sendiri. Konsep pemeliharaan kasih karunia serta pertumbuhan dalam kasih karunia dan iman juga dipegang oleh umat Lutheran. Mereka menekankan bahwa kebenaran sebagai penerimaan oleh Allah dan berbagi dalam kebenaran atau keadilan Kristus adalah selalu lengkap sepenuhnya. Pada saat yang sama, mereka menyatakan bahwa dapat terjadi pertumbuhan dalam dampak-dampaknya di dalam kehidupan Kristiani. Ketika mereka memandang perbuatan-perbuatan baik dari umat Kristen sebagai buah-buah dan tanda-tanda pembenaran dan bukan sebagai 'jasa' atau usaha orang itu sendiri, mereka juga tetap memahami kehidupan kekal selaras dengan Perjanjian Baru sebagai 'penghargaan' tanpa jasa/usaha sendiri dalam arti pemenuhan janji Allah kepada orang percaya."
D. James Kennedy menjelaskan makna perikop dari Surat Yakobus tersebut:
Penulis Surat Yakobus menekankan keyakinan Yahudi bahwa iman dan perbuatan berjalan seiring. Namun, dalam Surat Yakobus, adalah mungkin bahwa pembenaran mengacu pada bagaimana orang-orang percaya harus berperilaku selayaknya orang-orang percaya, bukan bagaimana seorang yang tidak percaya menjadi seorang percaya (yakni menerima keselamatan).[6] Iman tanpa perbuatan dipandang sebagai kepalsuan. Iman harus menghasilkan buah yang baik sebagai suatu tanda supaya jangan sampai iman menjadi kesempatan untuk pembenaran diri. Gereja perdana dan pembenaranTemplat:Sejarah teologi Kristen Dikatakan bahwa, setelah zaman Apostolik, konsep pembenaran kalah penting dibandingkan dengan isu-isu seperti kemartiran.[butuh rujukan] Pembenaran sebagai suatu konsep disebutkan dalam karya-karya tulis para Bapa Gereja awal seperti Klemens dari Roma,[7] dan dalam khotbah-khotbah Yohanes Krisostomus, namun baru dikembangkan saat terjadinya konflik antara Agustinus dengan Pelagius. Pelagius mengajarkan bahwa seseorang dapat menjadi benar melalui upaya dari kehendaknya untuk mengikuti teladan hidup Yesus. Agustinus dari Hippo menentangnya dan mengajarkan[8] bahwa orang dibenarkan karena Allah,[9] sebagai suatu karya dari rahmat atau kasih karunia-Nya.[10] Agustinus berusaha keras melawannya dalam karya-karya anti-Pelagian yang ditulisnya untuk membantah anggapan bahwa perbuatan manusia saja dapat digunakan sebagai dasar yang tepat untuk pembenarannya. Mengikuti permohonan yang diajukan Agustinus, Paus Innosensius I mengutuk Pelagius. Sang tertuduh bidah mengajukan banding untuk menyatakan bahwa ia tidak bersalah, yang diterima oleh Paus Zosimus, penerus Paus Innosensius. Namun, Konsili Kartago pada tahun 418 kembali menolak pandangan Pelagius dengan bekal persetujuan kepausan. Perbandingan antara tradisi-tradisiTradisi-tradisi Kristen dianggap menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai hakikat, fungsi, dan makna dari pembenaran secara cukup berbeda. Isu-isu tersebut meliputi: Apakah pembenaran merupakan suatu peristiwa yang terjadi seketika atau merupakan suatu proses yang berkelanjutan? Apakah pembenaran dipengaruhi oleh tindakan ilahi saja (monergisme), oleh tindakan ilahi dan manusia secara bersama-sama (sinergisme), atau oleh tindakan manusia saja? Apakah pembenaran bersifat permanen atau dapat hilang? Apa hubungan antara pembenaran dengan pengudusan, proses yang menjadikan orang berdosa dibenarkan dan dimampukan oleh Roh Kudus untuk menjalani kehidupan yang berkenan kepada Allah?
Anglikan / EpiskopalKalangan Anglikan, khususnya Anglo-Katolik, sering kali mengikuti Katolisisme dan Ortodoksi dalam hal meyakini bahwa Allah maupun manusia terlibat dalam pembenaran. "Pembenaran memiliki suatu aspek objektif dan suatu aspek subjektif. Aspek objektifnya adalah tindakan Allah dalam Kristus memulihkan perjanjian dan membukanya untuk semua orang. Aspek subjektifnya adalah iman, kepercayaan pada faktor ilahi, penerimaan akan belas kasih ilahi. Jika dilepaskan dari adanya aspek subjektif itu maka tidak ada pembenaran. Orang tidak dibenarkan [jika] dilepaskan dari pengetahuan mereka atau bertentangan dengan kehendak mereka... Allah mengampuni dan menerima orang-orang berdosa sebagaimana adanya ke dalam persekutuan ilahi, serta bahwa orang-orang berdosa ini pada kenyataannya diubah oleh kepercayaan mereka dalam belas kasih ilahi."[11] Pembenaran, pembangunan suatu hubungan dengan Allah melalui Kristus, dan pengudusan berjalan beriringan. Dalam Anglikanisme historis, artikel kesebelas dari 39 Artikel memperjelas bahwa pembenaran tidak dapat diperoleh: "Kita dianggap benar di hadapan Allah... bukan karena perbuatan atau jasa kita sendiri."[12] Namun, sejumlah teolog Anglikan dan Episkopal (khususnya Anglo-Katolik) berargumen bahwa iman ditandai dengan kesetiaan, yang di dalamnya perbuatan-perbuatan baik dan sakramen-sakramen memainkan peranan penting dalam kehidupan umat beriman Kristen. (lih. Perspektif Baru tentang Paulus) MetodismeJohn Wesley, pendiri Metodisme, sangat dipengaruhi oleh pemikiran Jacobus Arminius dan teori pendamaian pemerintahan dari Hugo Grotius. Maka dari itu, ia berpendapat bahwa pekerjaan Allah dalam diri manusia meliputi rahmat pendahuluan, yang membatalkan secara memadai pengaruh dosa sehingga manusia dapat dengan bebas memilih untuk percaya. Suatu tindakan iman secara individual maka dari itu menyebabkan seseorang menjadi bagian dari tubuh Kristus, yang memungkinkan seseorang untuk mengambil alih pendamaian Kristus untuk dirinya sendiri, menghapuskan kebersalahan dari dosa.[13] Menurut Artikel-Artikel Agama dalam Kitab Disiplin dari Gereja Metodis:
Namun, setelah seorang individu telah sedemikian dibenarkan, ia harus melanjutkan dalam kehidupan baru yang diberikan; apabila seseorang gagal untuk bertahan dalam iman dan bahkan mengingkari Allah dalam ketidakpercayaan sepenuhnya, keterikatan pada Kristus—dan juga pembenaran—mungkin hilang.[15] Ortodoksi TimurDikatakan bahwa Kekristenan Timur, termasuk Ortodoksi Timur maupun Ortodoksi Oriental, cenderung kurang menekankan pembenaran dibandingkan dengan Katolisisme ataupun Protestanisme, menggolongkannya ke dalam istilah lain seperti "pengudusan" atau "theosis" — sedemikian rupa sehingga pembenaran sering kali tidak memiliki penanganan tersendiri dalam karya-karya teologis Timur.[butuh rujukan] Istilah Yunani untuk pembenaran (δικαίωσις, dikaiōsis) tidak dipahami oleh kebanyakan teolog Timur dalam arti sekadar diampuni dosa-dosanya. Kurangnya penekanan pada pembenaran ini utamanya adalah hal historis. Gereja Timur melihat kemanusiaan sebagai mewarisi kesakitan dosa dari Adam, tetapi bukan kebersalahannya; oleh karena itu, dalam teologi Timur dipandang tidak memerlukan pembenaran yuridis apapun.[16] Kalangan Ortodoks melihat keselamatan sebagai suatu proses theosis, yang di dalamnya individu dipersatukan dengan Kristus dan kehidupan Kristus direproduksi di dalam dirinya. Dengan demikian, di satu sisi, pembenaran merupakan suatu aspek dari theosis.[17] Namun, pembenaran juga terjadi pada mereka yang dibaptis dan menerima Krisma, sehingga mereka dipandang dibersihkan dari dosa.[18] Maka, konsep Ortodoks mengenai pembenaran tidak dapat disamakan dengan konsep-konsep Protestan, dan mereka menganggapnya sama secara parsial dengan beberapa konsep Katolik Roma. Seorang uskup Ortodoks mengatakan:
"Roh Kudus memberikan dampak pada panggilan, penerangan, perubahan, pembenaran, kelahiran kembali dalam Pembaptisan, dan pengudusan dalam Gereja..."[20] Gereja KatolikBagi kalangan Katolik, pembenaran adalah "suatu perubahan, dari keadaan di mana manusia dilahirkan sebagai seorang anak dari Adam pertama, menuju keadaan rahmat, dan pengangkatan sebagai anak-anak Allah, melalui Adam kedua, Yesus Kristus, Juruselamat kita",[21] termasuk juga transformasi seorang berdosa dari keadaan ketidakbenaran menuju keadaan kekudusan. Transformasi ini dimungkinkan dengan mengakses jasa Kristus, yang tersedia dalam pendamaian, melalui iman dan sakramen-sakramen.[22] Gereja Katolik mengajarkan bahwa "iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati",[23][24] dan bahwa perbuatan-perbuatan menyempurnakan iman.[25] Dalam teologi Katolik, semua orang terlahir dalam keadaan memiliki dosa asal, yang berarti bahwa kodrat dosa Adam diwariskan oleh semua orang. Mengikuti St. Agustinus, Gereja Katolik menegaskan bahwa semua orang tidak mampu menjadikan diri mereka benar; sebaliknya, mereka membutuhkan pembenaran.[26] Katekismus Gereja Katolik menuliskan bahwa Sakramen Pembaptisan, yang berhubungan erat dengan iman, "memurnikan, membenarkan, dan menguduskan" orang berdosa; dalam sakramen ini, orang berdosa "dibebaskan dari dosa".[27][28] Hal ini disebut pembenaran awal, pintu masuk ke dalam kehidupan Kristiani. Kalangan Katolik menggunakan Markus 16:16, Yohanes 3:5, dan Kisah 2:38 untuk mendukung pandangan mengenai pembenaran oleh pembaptisan ini. Seiring dengan perkembangan seseorang dalam kehidupan Kristiani yang dijalaninya, ia tetap menerima kasih karunia atau rahmat Allah secara langsung melalui Roh Kudus maupun melalui sakramen-sakramen. Hal ini berguna untuk berjuang melawan dosa dalam kehidupannya, menyebabkan ia menjadi lebih benar baik dalam hatinya maupun dalam tindakannya. Jika seseorang jatuh dalam dosa berat, ia kehilangan pembenaran dan dapat memperolehnya kembali melalui Sakramen Pengakuan Dosa.[29] Perbuatan-perbuatan setiap orang akan diperhitungkan saat Penghakiman Terakhir.[30] Pada saat itu orang-orang benar akan terbukti demikian. Hal ini disebut pembenaran permanen. Dalam Konsili Trente, yang diyakini infalibilitasnya oleh umat Katolik, Gereja Katolik menyatakan dalam sesi VII melalui kanon IV bahwa, " Apabila ada orang berkata, bahwa sakramen-sakramen dari Hukum Baru tidak diperlukan untuk keselamatan, dan bahwa tanpa sakramen-sakramen tersebut, ataupun tanpa menginginkannya, manusia memperoleh rahmat pembenaran dari Allah melalui iman saja; kendati memang tidak semua (sakramen) diperlukan setiap individu; biarlah ia menjadi anatema (terekskomunikasi)."[31] Lihat pula
Bacaan lanjutan
Referensi
Pranala luarEkumenis
OrtodoksKatolik
Arminian/Metodis
Calvinis
Lutheran
Lain-lain |