Perang Medang–SriwijayaPerang Medang–Sriwijaya, disebut juga Pralaya (harf. 'Penghancuran') dalam prasasti Pucangan, adalah konflik militer antara dua kerajaan saingan, yaitu Sriwijaya Syailendra dan Medang Isyana, yang terjadi secara berkala sejak ca 937 ketika pasukan Sriwijaya mencoba untuk menyerang ibukota Medang, hingga tahun 1016 ketika kerajaan Medang runtuh karena pemberontakan yang didalangi oleh Sriwijaya.
Latar belakangRaja dari Kerajaan Mataram jauh sebelum kekuasaan timur Medang Isyana, adalah Samaratungga dari Dinasti Syailendra. Ia mempunyai seorang putra, Balaputradewa, dan seorang putri, Pramodhawardhani. Penerus Samaratungga adalah putrinya yang beragama Budha, Pramodhawardhani yang bertunangan dengan Rakai Pikatan dari Dinasti Sanjaya, putra Rakai Patapan yang berpengaruh, seorang tuan tanah di Jawa Tengah. Rakai Pikatan dan Dinasti Sanjaya adalah Hinduisme dan tercatat dalam Prasasti Siwagrha, bahwa telah menikahi putri yang beragama lain.[2] Namun, Balaputra menentang pemerintahan Pikatan dan Pramodhawardhani. Hubungan Balaputra dan Pramodhawardhani dimaknai berbeda oleh beberapa sejarawan. Menurut Bosch dan De Casparis berpendapat bahwa Balaputra adalah anak Samaratungga yang berarti ia adalah adik dari Pramodhawardhani. Sejarawan lain seperti Muljana berpendapat bahwa Balaputra adalah putra Samaragrawira dan adik dari Samaratungga yang berarti ia adalah paman dari Pramodhawardhani.[3] Tidak diketahui apakah Balaputra diusir dari Jawa Tengah karena perselisihan suksesi dengan Pikatan, atau apakah ia sudah memerintah di Suwarnadwipa (Sumatra). Apa pun yang terjadi, tampaknya Balaputra akhirnya memerintah dinasti Syailendra di Sumatra dan bertahta di ibu kota Sriwijaya, Palembang. Para sejarawan berpendapat bahwa hal ini karena ibu Balaputra—Dewi Tara, permaisuri Raja Samaragrawira adalah putri Sriwijaya, sehingga menjadikan Balaputra sebagai pewaris takhta Sriwijaya. Balaputra, Maharaja Sriwijaya kemudian menyatakan klaimnya sebagai pewaris sah Dinasti Syailendra dari Jawa, sebagaimana tertulis dalam Prasasti Nalanda bertanggal 860.[2] Pada ca 929, pusat kerajaan dipindahkan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur oleh Mpu Sindok,[2] yang mendirikan dinasti baru, Dinasti Isyana, dinamai menurut nama putrinya. Penyebab pasti perpindahan tersebut masih belum diketahui secara pasti. Sejarawan telah mengemukakan berbagai kemungkinan penyebabnya; mulai dari bencana alam, wabah epidemi, politik dan perebutan kekuasaan, hingga motif agama atau ekonomi. Salah satu dugaan penyebab perpindahan tersebut adalah perebutan kekuasaan dan politik. Cœdes berpendapat bahwa perpindahan ke Jawa Timur mungkin merupakan respons terhadap Dinasti Syailendra.[2] Teori ini sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh J.G. de Casparis yang mengemukakan bahwa perpindahan ibu kota ke timur adalah untuk menghindari invasi Sriwijaya dari Sumatra.[4] De Casparis kemudian memperluas teorinya yang kemungkinan besar dilatarbelakangi oleh alasan ekonomi, dengan mengatakan bahwa lokasi kerajaan di Jawa Tengah kurang mudah diakses dibandingkan di Jawa Timur. Lembah sungai Brantas dinilai memiliki lokasi yang strategis, karena sungai ini memberikan akses yang mudah untuk mencapai pelabuhan-pelabuhan di pantai utara Jawa Timur dan Laut Jawa, strategis untuk pengendalian jalur perdagangan maritim ke wilayah timur nusantara. , yang sangat penting untuk mengendalikan perdagangan rempah-rempah Maluku. Namun alasan perpindahan tersebut masih belum jelas. SejarahInvasi oleh Malayu di 937Menurut J.G. de Casparis, penduduk desa Anjukladang dianugerahi penghargaan atas jasa mereka dalam membantu pasukan raja — di bawah kepemimpinan Mpu Sindok, untuk mengusir pasukan penyerbu Malayu (sangat mungkin mengacu pada Sriwijaya) yang mencoba menyerang ibu kota dan telah mencapai daerah dekat Nganjuk. Artinya, hubungan Medang dengan Sriwijaya sudah sangat memburuk hingga keadaan bermusuhan.[2] Selain itu, Menurut de Casparis, Prasasti Anjuk Ladang disebutkan bahwa Mpu Sindok telah mendirikan monumen kemenangan (jayastambha) setelah berhasil memukul mundur serbuan Malayu, dan pada masa itu tahun ca 937, monumen tersebut digantikan oleh sebuah kuil. Kemungkinan besar, bangunan suci yang disebutkan dalam prasasti ini merujuk pada Candi Lor, sebuah reruntuhan candi yang terbuat dari batu bata merah yang terletak di Desa Candirejo. Permusuhan ini mungkin disebabkan oleh upaya Sriwijaya untuk merebut kembali tanah Syailendra di Jawa, atau oleh aspirasi Medang untuk menantang dominasi Sriwijaya sebagai kekuatan regional. Invasi Sriwijaya oleh Medang (990–1006)Pada tahun 990, Dharmawangsa melancarkan invasi angkatan laut terhadap Sriwijaya[2] dalam upaya untuk merebut Palembang. Berita invasi Jawa ke Sriwijaya tercatat dalam catatan Tiongkok dinasti Song. Pada tahun 988, utusan dari Sriwijaya dikirim ke istana Tiongkok di Guangzhou. Setelah singgah kurang lebih dua tahun di Tiongkok, utusan tersebut mengetahui bahwa kerajaannya telah diserang oleh Medang, sehingga membuatnya tidak dapat pulang ke rumah. Permusuhan antara Sriwijaya dan Medang dibenarkan oleh utusan Jawa. Pada tahun 992, utusan dari Medang tiba di istana Tiongkok dan menjelaskan bahwa negara mereka terlibat perang terus menerus dengan Sriwijaya.[5] Pada tahun 992, Medang akhirnya berhasil merebut Palembang untuk sementara waktu, namun kemudian pasukan Medang berhasil dipukul mundur oleh pasukan Sriwijaya.[6] Pada tahun 999, utusan Sriwijaya berlayar dari Tiongkok ke Champa dalam upaya untuk kembali ke rumah, namun mereka tidak menerima kabar tentang kondisi kerajaannya.[5] Utusan Sriwijaya kemudian berlayar kembali ke Tiongkok dan memohon perlindungan kepada kaisar Tiongkok (mungkin Kaisar Zhenzong) dari penjajah Jawa.[1] Prasasti Hujung Langit tahun 997, kembali menyebutkan adanya serangan Jawa terhadap Sumatra. Rangkaian serangan dari Jawa ini pada akhirnya gagal karena Jawa tidak berhasil membangun pijakan di Sumatra. Menguasai ibu kota di Palembang tidak cukup karena pada hakikatnya kekuasaan dan kekuatan mandala Sriwijaya tersebar di beberapa bandar pelabuhan di kawasan Selat Malaka. Sriwijaya memperlihatkan kegigihan persekutuan mandalanya, bertahan dan berjaya memukul mundur angkatan laut Jawa.[6] Sri Cudamani Warmadewa, Maharaja Sriwijaya berhasil lolos keluar dari ibu kota dan berkeliling menghimpun kekuatan dan bala bantuan dari sekutu dan raja-raja bawahannya untuk memukul mundur tentara Jawa. Di tengah krisis yang diakibatkan oleh Invasi Jawa, ia mendapatkan dukungan politik Tiongkok dengan memenuhi tuntutan kaisar Tiongkok.[2] Pada tahun 1003, sebuah catatan sejarah Tiongkok dinasti Song melaporkan bahwa utusan Sriwijaya yang diutus oleh Sri Cudamani Warmadewa, menginformasikan bahwa sebuah kuil Budha telah didirikan di kerajaan mereka untuk mendoakan umur panjang kaisar Tiongkok, sehingga meminta kaisar untuk memberikan nama dan lonceng untuk kuil tersebut, yang dibangun untuk menghormatinya. Dengan gembira, sang kaisar menamakan kuil tersebut Ch'eng-t'en-wan-shou (sepuluh ribu tahun menerima berkah dari surga, yaitu Tiongkok) dan lonceng tersebut segera dikirim ke Sriwijaya untuk dipasang di kuil tersebut. [1] Pada tahun 1005, Sriwijaya mulai tampil penuh kemenangan. Pada tahun 1006, aliansi Sriwijaya membuktikan ketangguhannya dengan berhasil memukul mundur invasi ini. Invasi tersebut pada akhirnya tidak berhasil. Serangan ini telah membuka mata Cudamani Warmadewa tentang betapa berbahayanya Medang, dan merenungkan lebih jauh, dengan sabar menyusun rencana dan upaya untuk menghancurkan musuh bebuyutannya dari Jawa. Cudamani Warmadewa meninggal pada ca 1008, Ia digantikan oleh ahli warisnya, Sri Mara-Wijayottunggawarman. Pemberontakan WurawariPada tahun 1016, Sriwijaya melancarkan serangan balasan dan menghancurkan Istana Watugaluh di Jawa, dengan membantu raja kecil dari pemerintahan bawahan Medang, Aji Wurawari dari Lwaram untuk memberontak, menyerang dan menghancurkan istana Medang. Alasan Wurawari memberontak karena sebelumnya, ia ingin menikahi putri dari Dharmawangsa. Ia ingin menggantikan Dharmawangsa dan menjadi penguasa Medang. Namun lamarannya ditolak, dan Dharmawangsa memilih Airlangga, putra Udayana dari Bali dan Mahendradatta,[2] sebagai menantunya. Wurawari pun dendam, akhirnya ia bersekutu dengan Sriwijaya untuk membantu penyerangan istana.[7] Serangan mendadak dan tak terduga terjadi saat upacara pernikahan putri Dharmawangsa, menewaskan Dharmawangsa dan sebagian besar keluarga kerajaan.[2] Bencana ini dicatat dalam Prasasti Pucangan sebagai Pralaya (bencana); "matinya kerajaan Medang".[2] Dengan matinya Dharmawangsa dan jatuhnya ibu kota, di bawah tekanan militer dari pasukan Sriwijaya yang membantu Wurawari, kerajaan tersebut akhirnya runtuh dan jatuh ke dalam kekacauan. Dengan tidak adanya penguasa tertinggi Medang, para panglima perang di provinsi-provinsi dan pemukiman di Jawa tengah dan timur memberontak dan melepaskan diri dari pemerintahan Medang pusat dan membentuk pemerintahan mereka sendiri yang melayani dinasti lokal. Penggerebekan dan perampokan merajalela di negara ini. Terjadi kerusuhan dan kekerasan lebih lanjut beberapa tahun setelah runtuhnya kerajaan tersebut. KesudahanAirlangga berhasil lolos dari kehancuran dan mengasingkan diri di hutan Vanagiri di pedalaman Jawa Tengah. Ia kemudian menggalang dukungan dari para pejabat dan bupati yang setia kepada bekas dinasti Isyana dan mulai menyatukan kembali daerah-daerah yang dulunya dikuasai oleh Medang. Ia mengkonsolidasikan kekuasaannya, mendirikan kembali kerajaan dengan nama Kahuripan, dan berdamai dengan Sriwijaya. Kerajaan ini dapat dianggap sebagai penerus kerajaan Medang, dan sejak saat itu, kerajaan ini dikenal dengan nama Kahuripan,[2] dengan ibu kotanya yang terletak di dekat muara Sungai Brantas, di sekitar Surabaya, Sidoarjo atau Pasuruan di Jawa Timur. Catatan kakiReferensi
Bibliografi
Catatan |