Program Kehutanan Nasional
Pengertian PKNProgram Kehutanan Nasional atau PKN merupakan kerangka kebijakan kehutanan yang bersifat menyeluruh yang dibuat dalam rangka mencapai tujuan pengurusan hutan suatu negara, yaitu tercapainya pengelolaan hutan lestari atau PHL di negara tersebut. NFP dibuat dengan berlandaskan kepada pendekatan lintas sektoral pada setiap tingkat (nasional, provinsi, kabupaten/kota), dan bersifat partisipatif dengann melibatkan berbagai pihak yang terkait, dalam keseluruhan proses mencakup: perumusan kebijakan, penetapan strategi, penyusunan rencana kegiatan, implementasi, pemantauan, dan evaluasinya. Proses pembentukan NFP bersifat dinamis, disesuaikan dengan keadaan faktor-faktor yang berpengaruh dalam proses pengurusan hutan yang akan berkembang menurut waktu. Dengan demikian, keseluruhan isi NFP harus selalu dimonitor dan dievaluasi. Beberapa komponen lain, seperti rencana kegiatan dan Teknik penerapannya dapat saja berubah dalam jangka pendek. Oleh karenanya pembentukan NFP akan merupakan sebuah proses yang bersifat iterative dan terus menerus dalam kegiatan pengurusan hutan nasional. Skema proses pembentukan NFP yang bersifat iteratif dapat dilihat pada Gambar Tahapan proses perumusan NFP. Latar BelakangMeningkatnya laju deforestasi, meluasnya dampak degradasi lingkungan serta meningkatnya konflik sosial di berbagai belahan dunia, menyebabkan keprihatinan para pihak yang terdiri dari kalangan bisnis di bidang perkayuan dan kehutanan, perwakilan asosiasi dan organisasi hak asasi manusia dan lingkungan. Hal ini memicu terjadinya pertemuan para pihak di California pada tahun 1990, Kelompok multipihak ini menyepakati adanya kebutuhan untuk membangun sistem yang dapat mengidentifikasi hutan yang dikelola secara bertanggung jawab sehingga menghasilkan produk yang dapat dipertanggungjawabkan pula secara lingkungan, sosial,dan ekonomi. Konsep itu muncul untuk pertama kalinya pada pertemuan ini. Dua tahun berselang setelah pertemuan tersebut, yaitu pada tahun 1992 barulah PBB menyelenggarakan Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan (KTT Bumi) yang diadakan di Rio de Janeiro. KTT Bumi menghasilkan komitmen terkait pengelolaan hutan, yaitu Agenda 21 dan Prinsip Pengelolaan Hutan yang meskipun tidak mengikat secara hukum namun menyediakan platform yang penting bagi banyak organisasi non-pemerintah untuk hadir dan memberikan dukungan bagi munculnya konsep inovatif terkait skema sertifikasi hutan non-pemerintah yang independen dan berskala internasional.[2] TujuanPKN dibuat dalam rangka tercapainya tingkat pengelolaan hutan lestari dalam suatu negara, sehingga pelaksanaan kegiatan konservasi, pengelolaan, dan pembangunan hutan. Hal tersebut dimaksudkan untuk memenuhi berbagai kebutuhan atau barang dan jasa dari hutan pada tingkat lokal, nasional, regional, dan global dapat terjamin dan sesuai dengan aturan-aturan yang bersifat universal serta keadaan khusus disetiap negaranya.[3] Unsur-unsur PKN
Program PKN Di IndonesiaPengembangan Hutan Rakyat Di Tanah PemilikIstilah hutan rakyat sudah lebih lama digunakan dala program-program pembangunan kehutanan dan disebut dalam UUPK (Undang-Undang Pokok Kehutanan) Tahun 1967. Di Jawa hutan rakyat dikembangkan pada tahun 1930-an oleh pemerintah kolonial Belanda. Setelah merdeka, pemerintah Indonesia melanjutkan pada tahun 1952 melalui gerakan “Karang Kitri” (Wartapura 1990). Secara nasional pengembangan hutan rakyat di bawah payung program penghijauan diselenggarakan pada tahun 1960-an, tepatnya saat Pekan Raya Penghijauan pertama tahun 1961. Sampai saat ini hutan rakyat telah diusahakan di tanah milik yang diakui secara formal oleh pemerintah maupun tanah milik yang diakui pada tingkat lokal (tanah adat). Dalam hutan rakyat diusahakan tanaman pohon-pohon yang hasil utamanya kayu, seperti Sengon (Paraserianthes falcataria), dan Akasia (Acacia auriculiformis). Selain kayu ada juga pohon penghasil getah Kemenyan (Styrax benzoin), Damar (Shorea javanica)) dan pohon penghasil buah seperti Kemiri.[5] Hutan Serbaguna dan Hutan KemasyarakatanIstilah hutan serbaguna mulai dikembangkan dalam Repelita ketiga (1979/1980 sampai 1983/1984). Kegiatan program Hutan Serbaguna mencakup pengembangan persuteraan, lebah madu, rumput untuk ternak, dan kayu bakar. istilah hutan kemasyarakatan sudah diperbincangkan dalam seminar Persatuan Sarjana Kehutanan Indonesia (PERSAKI) tahun 1985 dan pola pengembangannya dijabarkan oleh Direktorat Penghijauan dan Pengendalian Perladangan tahun 1986. Hutan kemasyarakatan mulai dikembangkan dalam Repelita kelima (1989/1990 sampai 1993/1994). Dalam dokumen Repelita kelima disebutkan bahwa untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perlu diusahakan agar kawasan hutan mampu memberikan manfaat kepada masyarakat sekitarnya dan dalam jumlah yang lebih banyak dan mutu yang lebih baik melalui hutan kemasyarakatan atau hutan sosial yang dikembangkan di sekitar desa-desa dan dikelola oleh organisasi sosial masyarakat secara mandiri. Pengembangan praktik hutan serbaguna dan hutan kemasyarakatan saling tumpang tindih. Kedua-duanya dikembangkan di dalam kawasan hutan negara maupun di luar kawasan hutan negara. Pengembangannya di tanah milik tumpangtindih dengan hutan rakyat, namun sedikit berbeda penekanannya (hutan rakyat menekankan hasil utama kayu, sedangkan hasil dari hutan kemasyarakatan dan hutan serbaguna lebih beragam mencakup peternakan, persuteraan, dan lebah madu.[6] Perhutanan NasionalIstilah perhutanan sosial digunakan pertama kali dalam penyelenggaraan program oleh Perum Perhutani di Jawa pada tahun 1986 dan proyek percontohan oleh Kantor Wilayah Departemen Kehutanan, yaitu di Belangian, Kalaan dan Selaru, Kalimantan Selatan. Pengembangannya oleh Perum Perhutani di Jawa merupakan penyempurnaan program-program pendekatan kesejahteraan, yaitu intensifikasi tumpangsari dan PMDH (Pembangunan Masyarakat Desa Hutan). Inmas tumpangsari dilaksanakan pada tahun 1972 oleh Perum Perhutani di Jawa. Praktik tumpangsari di Jawa diterapkan pertama kali pada tahun 1883 oleh pemerintah Belanda dalam usaha menarik minat penduduk untuk melaksanakan reboisasi. Orientasi tumpangsari lebih kepada sistem hubungan kerja pengupahan, sedangkas inmas tumpangsari sudah mulai bergeser ke arah membangun mitra kerja, memberika perhatian kepada kesejahteraan tenaga kerja. Pada awal pembangunannya oleh Perhutani kegiatan Perhutanan Sosial meliputi kegiatan di dalam kawasan hutan, yaitu pengembangan agroforestri dan di luar kawasan hutan, yaitu pengembangan kelompok tani hutan dan usaha produktif lainnya (peternakan, industri rumah tangga, dan perdagangan. Pengembangan agroforestry merupakan upaya pengembangan pola-pola tanam yang lebih intensif sehingga masyarakat memperoleh manfaat yang lebih besar dan lebih lama (selama daur tanaman pokok). Upaya yang dilakukan antara lain melebarkan jarak tanam tanaman pokok (kehutanan) dan mengusahakan tanaman buah-buahan tahunan (Nangka, Jambu, Srikaya, dan Alpukat). Kelompok tani hutan dibangun untuk meningkatkan komunikasi timbal balik antara petani dan perhutani sehingga dicapai persamaan persepsi dan hubungan yang harmonis untuk mewujudkan mitra sejajar. Kelompok juga sebagai wadah saling belajar antar petani dan mengembangkan usaha bersama. Pengembangan usaha produktif di luar kawasan hutan merupakan kelanjutan dari program PMDH. Pengembangan usaha produktif di luar kawasan hutan lebih dikembangkan lagi melalui program pembinaan USKOP (Usaha Kecil dan Koperasi).[6] Referensi
|