Suku Citak
Suku Citak (Kau atau Kaunak;[2] disebut juga sebagai Cicak yang merupakan sebutan eksonim dari suku Awyu untuk suku ini) adalah kelompok etnis yang mendiami Papua Selatan, Indonesia. Mereka menggunakan bahasa Citak atau Kau Adagum sebagai bahasa komunikasi antar masyarakat suku ini. Berdasarkan dialeknya, bahasa ini dibagi menjadi dialek Tamnim, Diuwe, dan Citak. SejarahPada awalnya, suku Citak berkehidupan semi-nomaden, dan tinggal di kampung-kampung kecil yang tersebar disekitar Sungai Brazza. Setelah adanya paksaan dari pemerintahan Hindia Belanda mereka mulai hidup permanen di kampung-kampung yang lebih besar, hal ini dimaksudkan agar pemerintah Hindia Belanda lebih mudah untuk mengontrol mereka.[3] Suku Citak menggunakan sistem kekerabatan matrilineal dengan adat menetap menikah matrilokal. Selain itu masyarakat suku Citak juga tidak mengenal sistem klan. Walaupun kemudian perlahan berubah disaat masuknya misionaris Kristen.[3] PenyebaranMasyarakat suku Citak mendiami hulu Sungai Brazza dan dibatasi di sebelah timur oleh hulu Sungai Digul, sedangkan di sebelah barat dibatasi oleh Sungai Pulau dan Sungai Wildeman.[2] Disebelah baratnya berdiam suku Asmat, sebelah selatannya adalah suku Awyu atau disebut juga suku Mitak. Bahasa mereka memiliki persamaan dengan bahasa Asmat, sehingga sebagian ahli bahasa cenderung menggolongkan mereka sebagai salah satu sub-suku berbahasa Asmat.[3] Desa-desa mereka adalah Daikut, Samnak, Sipanap,[1] Senggo, Kunasuma, Basman, Tiau, Amazu, Binerbis, Bidneu (Bidnew), Vamu (Vomu, Fomu), Ipem, Binam, Vakam, Bi-namzein (Mbinamzain), Womin, Sagamu, Buruba, Abau, Komasma (Kumasma), Vou, Imembi, Patipi, Piramanak, Burbis, Binam, Sagis, Emenepe, Tokemau, Dja-wok, dan Asserep.[2][4] Secara administratif, wilayah yang didiami suku ini termasuk kedalam wilayah kecamatan Citak Mitak (Kampung Senggo), Kabupaten Mappi, Papua Selatan, Indonesia. Jumlah populasi suku ini sekitar 8.000 jiwa.[1] MasyarakatMakanan pokok masyarakat Citak adalah sagu yang dilengkapi dengan ikan dan daging. Sagu dan ikan merupakan hasil dari kaum perempuan sedangkan daging merupakan hasil buruan kaum laki-laki. Kaum laki-laki berburu menggunakan perahu berukuran panjang 4 meter, lebih kecil dari perahu untuk keluarga yang memiliki panjang 10 meter.[3] BudayaPeninggalan dari suku Citak yang berada di Museum Kebudayaan dan Kemajuan Asmat disimpan di dalam koleksi Yupmakcain. Menurut direktur museum tersebut, Eric Sarkol, nama tersebut diberikan oleh pendahulunya Yufentius Biakai. Menurut Biakai, nama Yupmakcain merupakan nama emik dari daerah utara Binam dan Mbinamzain. Beberapa contoh cabang seni suku ini berupa seni drama dan seni rupa yang merupakan bagian dari upacara adat. Mirip dengan suku Asmat, beberapa seni ukiran berupa pahatan perisai dengan pilihan warna yang mirip dengan gaya seni barat-daya lainnya seperti suku Asmat dan Awyu.[3] TradisiAgu IbitMenurut Pido seorang zauwaibit (pemimpin perang) yang berasal dari Senggo Lama, awalnya suku ini tinggal di rumah pohon tetapi kemudian berubah karena berbahaya bagi anak kecil yang mudah jatuh. Legenda leluhur suku ini adalah Agu Ibit yang dinarasikan Pido kepada Josef Haas tahun 1981 (yang diterjemahkan berdasarkan rekaman oleh Alexander de Antoni, Stefanus Supprobo, dan Cornelis di Senggo, 2007):
Referensi
|