Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

Gereja Kristen Jawa Salib Putih

Gereja Kristen Jawa Salib Putih
ꦒꦿꦺꦗꦱꦭꦶꦧ꧀ꦥꦸꦠꦶꦃꦱꦭꦠꦶꦒ
Nama sebagaimana tercantum dalam
Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya
Cagar budaya Indonesia
KategoriBangunan
No. RegnasBelum ada
Lokasi
keberadaan
Jalan Hasanudin km. 4 (Kota Salatiga–Kopeng), Kelurahan Kumpulrejo, Kecamatan Argomulyo, Kota Salatiga, Provinsi Jawa Tengah
PemilikYayasan Sosial Kristen Salib Putih
PengelolaYayasan Sosial Kristen Salib Putih
GKJ Salib Putih merupakan salah satu bukti fisik penyebaran agama Kristen di kawasan Kota Salatiga dan Kabupaten Semarang (Mulyati 2020, hlm. 302).

Gereja Kristen Jawa (GKJ) Salib Putih (bahasa Jawa: ꦒꦿꦺꦗꦱꦭꦶꦧ꧀ꦥꦸꦠꦶꦃꦱꦭꦠꦶꦒ, translit. Gréja Salib Putih Salatiga) adalah bangunan gereja di bawah naungan sinode Gereja Kristen Jawa yang terletak di Jalan Hasanudin km. 4 (Kota SalatigaKopeng), Kelurahan Kumpulrejo, Kecamatan Argomulyo, Kota Salatiga, Provinsi Jawa Tengah. Gereja tersebut merupakan satu-satunya gereja di Kota Salatiga yang menggunakan atap mansard. Keberadaannya menjadi salah satu bukti fisik penyebaran agama Kristen di kawasan Kabupaten Semarang dan Kota Salatiga. Hingga tahun 2020, kondisi bangunannya terawat dengan baik serta difungsikan sebagai tempat ibadah rutin umat Kristen di sekitar kawasan itu. Pendirian GKJ Salib Putih maupun bangunan lain di kawasan Agrowisata Salib Putih bermula dari komite pelayanan sosial pimpinan Adolph Theodoor Jocobus van Emmerick dan Alice Cornelia Cleverly yang mulai menempati kawasan itu pada 14 Mei 1902.

Keadaan bangunan

Gereja ini berada di Jalan Hasanudin km. 4 (Kota Salatiga–Kopeng) dan satu kompleks dengan Agrowisata Salib Putih.[1][2] Gereja tersebut merupakan salah satu gereja Kristen tertua di Jawa Tengah.[3] Menurut Purnomo dan Sastrosupono dalam buku berjudul Gereja-Gereja Kristen Jawa, GKJ: Benih yang Tumbuh dan Berkembang di Tanah Jawa, gereja tua lain yang berada di Jawa Tengah adalah GPIB Immanuel Semarang (Gereja Blenduk) di Semarang yang dibangun tahun 1753 dan Gereja Kristen Jawa Tengah Utara di Grobogan yang dibangun tahun 1898.[4]

Tugu Peringatan 50 Tahun Gereja Kristen Jawa Salib Putih (Mulyati 2020, hlm. 306).

Berdasarkan tulisan angka di tugu peringatan yang berada satu kompleks dengan gereja tersebut, disebutkan bahwa peringatan 50 tahun berdirinya gereja pada 1952.[3] Oleh karena itu, dapat diketahui bahwa gereja ini dibangun tahun 1902.[1] Tulisan di tugu berbentuk tiang batu yang dilengkapi dengan bola dan salib berwarna putih itu juga memuat Injil Yohanes 3:16 dalam bahasa Jawa, yaitu:[5]

Awit déné Allah anggoné ngasihi marang djagad iku kongsi masrahaké kang Putra ontang-anting, supaja saben wong kang ngugemi, adja kongsi nemu karusakan, nanging nduwènana urip langgeng.[5]
(Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Dia telah mengaruniakan anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan memperoleh hidup yang kekal).[6]

Menurut Mulyati yang mengutip keterangan dari Buku Sejarah Salib Putih, 14 Mei 1902–4 Mei 2013, bentuk bangunan gereja tersebut masih asli sejak pertama kali didirikan. Tiang dan skur (kayu penahan) yang digunakan masih asli, tetapi fondasinya telah diganti dengan batu bata. Gereja itu merupakan satu-satunya gereja di Kota Salatiga yang menggunakan atap mansard[a] (atap prancis atau atap trotoar).[7] Hasil kajian dan identifikasi dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah tahun 2009 turut memperjelas bahwa konstruksi dinding gereja ini menggunakan kombinasi kayu dan papan.[8] Pintu gerbang gereja ini memuat tulisan Injil Markus dengan aksara Jawa, yaitu padalemaningsun sinebuta dalem pamujan (rumahku disebut sebagai rumah pemujaan).[9]

Pintu gerbang gereja yang memuat tulisan Injil Markus dengan aksara Jawa (Rahardjo, dkk 2013, hlm. 74).

Mulyati dalam penelitiannya yang mewawancarai seorang informan bernama Zakeus, menuturkan bahwa salah satu keunikan gereja tersebut adalah mimbar khotbahnya yang terbuat dari kayu jati dan kondisinya masih bagus. Selain itu, di bawah mimbar juga terdapat kolam pembaptisan, meskipun telah ditutup dengan kayu.[7] Adapun sesanti yang berada di belakang mimbar ditulis dengan bahasa Jawa, yaitu aku ora pedhot-pedhot anganthi marang kowé kongsi tumeka wekasaning jaman (aku tidak akan putus dalam mencapai-Mu hingga akhir zaman).[10]

Kondisi fisik keseluruhan bangunan gereja tersebut hingga tahun 2020 terawat dengan baik, serta difungsikan sebagai tempat ibadah rutin umat Kristen di sekitar kawasan itu.[11][12] Berdasarkan hasil kajian dan identifikasi bangunan bersejarah di Kota Salatiga yang dilakukan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kota Salatiga bersama BPCB Jawa Tengah tahun 2009, gereja ini terinventarisasi untuk ditetapkan sebagai salah satu bangunan cagar budaya di Kota Salatiga dengan Nomor Inventaris 11-73/Sla/140[13] dan menjadi bangunan yang menjadi titik perhatian di jalur Kota Salatiga dan Kopeng.[7] Keberadaannya menjadi salah satu bukti fisik penyebaran agama Kristen di kawasan Kabupaten Semarang dan Kota Salatiga.[12][14]

Dinamika

Berdasarkan data arsip Yayasan Sosial Kristen Salib Putih (YSKSP) mengenai pendirian yayasan, keberadaan GKJ Salib Putih maupun panti wreda,[15][16][17] panti karya,[18] panti asuhan, dan perkebunan[19] di kawasan Salib Putih bermula dari komite pelayanan sosial yang dipimpin oleh pasangan suami-istri penginjil berbeda kebangsaan dari Leger des Heils (Bala Keselamatan), yaitu Adolph Theodoor Jocobus van Emmerick (Belanda) dan Alice Cornelia Cleverly (Inggris).[20][21] Pada awal pelayanannya, Brouwer memperjelas bahwa Bala Keselamatan di wilayah Salatiga dan Semarang dikenal dengan Bala Kěslamětan (bahasa Jawa).[22] Komite yang didirikan oleh Adolph dan Alice ini awalnya hanya fokus kepada pelayanan untuk kesejahteraan umat berupa rumah perawatan bagi masyarakat yang kurang mampu.[23]

Mereka berdua datang ke Hindia Belanda tahun 1882 sebagai amtenar.[1][24] Peran mereka diawali ketika Gunung Kelud meletus tahun 1901.[20] Wolterbeek dalam Babad Zending in Java menengarai bahwa letusan tersebut tidak hanya menimbulkan masalah sosial dan ekonomi saja, tetapi juga epidemi penyakit kolera yang menimpa penduduk.[25] Chao turut menambahkan bahwa sekitar + 300 orang penduduk yang berada di sekitar gunung itu lantas mengungsi hingga ke wilayah Kota Salatiga.[26] Mereka ditampung sementara di Alun-Alun Salatiga (saat ini bernama Alun-Alun Pancasila Salatiga) dalam barak-barak darurat, serta mendapatkan penanganan dari tenaga medis Militair Hospital (saat ini bernama Rumah Sakit Dinas Kesehatan Tentara Dokter Asmir; disingkat RS DKT dr. Asmir).[24]

Rumah keluarga van Emmerick di Kota Salatiga yang saat ini menjadi SMK Kristen Salatiga (Mulyati 2020, hlm. 304).

Komite pelayanan sosial[b] yang dipimpin oleh Adolph dan Alice ini sebenarnya mengajak para pengungsi untuk pindah ke Semarang (pusat awal Bala Keselamatan Indonesia).[24] Namun, menurut arsip YSKSP, mereka disarankan untuk menempati kawasan yang sekarang bernama Salib Putih atas dasar pertimbangan kemanusiaan, jarak, dan fasilitas di Semarang yang tidak memungkinkan.[25] Komite tersebut lantas mendirikan barak-barak penampungan untuk tempat tinggal dan perawatan di lahan seluas + 40 hektare secara swadaya, sedangkan para pengungsi ditampung dan dirawat sementara di rumah keluarga Emmerick, yang sekarang menjadi SMK Kristen Salatiga.[27] Mereka mulai menempati kawasan itu pada 14 Mei 1902.[20][24][28]

Selain mendapatkan bantuan dari komite, para pengungsi juga dilatih dengan berbagai keterampilan untuk menggarap kawasan ini, yaitu bertani, beternak, dan membuka areal perkebunan (kopi, vanili, karet, lengkeng, dan rumput gajah).[29] Selanjutnya, bagi para pengungsi yang telah sembuh diberi kesempatan untuk bertransmigrasi ke Sumatra maupun Sulawesi, sedangkan bagi yang tidak bersedia diberi tanah dan tempat tinggal hampir seluas 12 hektare di wilayah tersebut.[30] Areal ini dalam perkembangannya bertambah luas karena mendapatkan hibah dari wedana serta tambahan hasil pembelian tanah keluarga Emmerick.[31]

Berhubung sebagian besar pengungsi yang tidak ingin bertransmigrasi bersedia memeluk agama Kristen, dibangunlah sebuah gereja di wilayah itu pada 1902.[29] Bangunan gereja ini terbuat dari kayu jati dengan menara di puncaknya sebagai tempat lonceng gereja. Lonceng itu merupakan hadiah dari pemerintah Belanda yang berangka tahun 1682.[9] Pada tahun itu pula komite yang didirikan oleh keluarga Emmerick berganti nama menjadi Witte Kruis Kolonie.[29] Nama itu diambil ketika Adolph dan Alice menemukan marmer putih berbentuk salib ketika membuka lahan.[32] Nama ini dalam bahasa Indonesia berarti "Perkumpulan Salib Putih".[33] Yayasan tersebut awalnya memang belum berbadan hukum, tetapi mempunyai hak otonomi sendiri.[29]

Buku Sejarah Salib Putih mencatat bahwa Adolph meninggal pada 9 Juli 1924 dan semua tugas pelayanan kemudian diteruskan oleh istrinya hingga tahun 1942. Yayasan yang dikelolanya lantas berganti nama menjadi Vereniging der Witte Kruis Kolonie dan telah berbadan hukum pada 1928, serta mendapatkan subsidi dari pemerintah Belanda.[29] Sampai tahun 1930, yayasan ini memiliki anggota lebih dari 1.200 orang.[28][32] Namun, ketika Jepang menduduki Hindia Belanda, Alice ditangkap dan akhirnya meninggal dalam tahanan.[29]

Setelah Indonesia merdeka, semua aset Belanda diserahkan kepada pemerintah Indonesia, termasuk lahan Salib Putih dan bangunan gereja. Sejak tahun 1948 hingga 1952, pengelolaan Salib Putih lantas diserahkan kepada anak Adolph, yaitu Santoso Adolf van Emmerick.[29] Namun menurut Raharjo, Santoso kemudian meminta saran kepada Pendeta Basoeki Probowinoto mengenai pengelolaan Salib Putih pada 1949. Berdasarkan catatan dalam Notulen Rapat Pengurus Yayasan Amal Kristen Jawa Tengah, dengan lokasi di Salatiga dan tanggal 9 Januari 1951, ada tiga alternatif dari Santoso yang dimintakan pertimbangan, yaitu diserahkan kepada pemerintah Indonesia karena memiliki hak aset atas lahan-lahan yang pernah dikuasai oleh Belanda, diserahkan kepada Gereja Katolik Roma karena dinilai lebih berpengalaman dalam mengelola pelayanan sosial, atau diserahkan kepada pihak GKJ karena orang-orang rawatan yang berada di kawasan tersebut telah memiliki hubungan dekat dengan pihak GKJ.[34]

Yayasan Sosial Kristen Salib Putih (YSKSP) adalah komite sosial yang mengelola kawasan Salib Putih (Mulyati 2020, hlm. 306).

Menanggapi tiga alternatif tersebut, Probowinoto menyarankan agar pengelolaan diserahkan kepada pihak GKJ. Namun, pertimbangannya tidak terletak berdasarkan kedekatan orang-orang rawatan dengan GKJ, melainkan supaya GKJ mempunyai kesempatan untuk melakukan pelayanan Pekabaran Injil secara lebih luas, yaitu kepada orang-orang miskin, cacat, yatim-piatu, janda, lanjut usia, dan sebagainya.[35] Notulen Rapat Pengurus Yayasan Amal Kristen Jawa Tengah, dengan lokasi di Salatiga dan tanggal 9 Januari 1951, mencatat bahwa penyerahan pengelolaan itu dilakukan secara pribadi, yaitu dari Santoso kepada Probowinoto pada 1949. Namun, Probowinoto sendiri telah memikirkan mengenai prosedur kelembagaannya. Atas prakarsa darinya, Sinode GKJ akhirnya membuat yayasan bernama Yayasan Amal Kristen pada 5–7 Juli 1950 untuk mengelola lahan Salib Putih.[36] Seluruh aktivitas yayasan selanjutnya dikelola oleh Perkumpulan Rumah Sosial Sana Bapa dan dipimpin oleh pejabat pemerintah bernama Somadilaga.[37]

Pada 1952, pemerintah Indonesia menyerahkan pengelolaan gereja dan Perkumpulan Rumah Sosial Sana Bapa kepada Sinode GKJ. Nama Sana Bapa lantas diubah menjadi Perkumpulan Rumah Perawatan Salib Putih oleh Probowinoto yang saat itu menjabat sebagai Ketua Pelaksana Harian Sinode GKJ. Perubahan tersebut disetujui oleh Djodi Gondokusumo selaku Menteri Kehakiman Republik Indonesia dengan akta notaris Nomor J.A. 5/67/23 tanggal 2 Agustus 1954.[3][28] Yayasan ini terakhir berganti nama menjadi Yayasan Sosial Kristen Salib Putih (YSKSP) pada 1977.[1][26] Untuk memenuhi ketentuan undang-undang, yayasan tersebut didaftarkan secara resmi kepada pemerintah Indonesia (dalam hal ini Menteri Sosial Republik Indonesia) melalui akta notaris No. 066-12/KPTS/BBS/II/86 tanggal 25 Februari 1986, tetapi baru dikukuhkan tanggal 14 Desember 1995.[3]

Lihat pula

Catatan

  1. ^ Atap mansard juga disebut dengan atap prancis atau atap trotoar adalah atap pinggul gaya empat sisi yang ditandai oleh dua lereng di setiap sisinya dengan kemiringan yang lebih rendah, tertusuk oleh jendela atap di bagian sudut yang lebih curam daripada bagian atas (Kindangen 2019, hlm. 29). Garis patahan atap di tambahan kasau miring atau atap mansard adalah garis pertemuan antara dua bidang atap yang berbeda kemiringannya. Arahnya sejajar dengan garis tirisan atap, berarti kedudukannya mendatar (horizontal) (Frick & Setiawan 2001, hlm. 187).
  2. ^ GKJ memakai dua term dalam Pekabaran Injil, yaitu hoofddienst (pekabaran yang dilakukan langsung oleh pendeta konsul pemerintah Belanda) dan nevendienst (pekabaran tidak langsung melalui berbagai yayasan Kristen, yaitu klinik, rumah sakit, panti asuhan, panti jompo, sekolah, dan sebagainya). Kedua term ini diperoleh dari Laporan Komisi Lima mengenai “Pengintegrasian Badan-Badan dan Yayasan-Yayasan Pelayanan Kristen”, dengan lokasi di Salatiga dan tanggal 1 November 1966. Namun, terkadang term nevendienst disebut juga dengan hulpdienst atau pekabaran sampingan. Term ini diperoleh dari Notulen Rapat Majelis GKJ Gondokusuman dengan Deputat-Deputat Pekabaran Injil dan Deputat-Deputat Gereja Miskin, tertanggal 29 Desember 1950. Sebelum meletus Perang Dunia Kedua (PD II), hoofddienst dan nevendienst merupakan tanggung jawab dari gereja. Hampir semua gereja mempunyai komisi pekabaran yang dipilih oleh majelis gereja. Para komisi itu diperintahkan untuk menggerakkan pekabaran di lingkungan gerejanya masing-masing. Ketika menjalankan kewajibannya, para komisi itu terbagi lagi menjadi beberapa seksi, yaitu seksi wanita, seksi sekolah, seksi klinik, seksi panti jompo, seksi hari besar Kristen, dan sebagainya. Pada 1942, tugas dan kewajiban nevendienst dipisahkan dari gereja. Hal tersebut dikarenakan nevendienst yang menjadi pelayanan sosial zending diambil alih fungsinya oleh Jepang untuk kepentingan perang. Selain itu, pemisahan ini juga dikarenakan para zending tidak memberikan tanggung jawab pengelolaan pelayanan sosial kepada GKJ agar pemerintah Belanda dapat menjalankannya lagi jika kembali ke Indonesia (Raharjo 2019, hlm. 117–118). Adapun pelaksanaan pelayanan sosial yang dilakukan oleh Adolph dan Alice di Kota Salatiga itu termasuk ke dalam nevendienst atau hulpdienst karena dilakukan melalui perantara lembaga-lembaga Kristen (Mulyati 2020, hlm. 305).

Rujukan

  1. ^ a b c d Setiawan, Hendra (29 Desember 2019). "Gereja Salib Putih, Sejarah Perjalanan Agama Kristen di Salatiga". Suara Merdeka. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-05-05. Diakses tanggal 21 Mei 2020. 
  2. ^ Wikarsa, Ambarsari & Kurniawati (2017), hlm. 3–4
  3. ^ a b c d Mulyati (2020), hlm. 306
  4. ^ Purnomo & Sastrosupono (1988), hlm. 108 dan 131
  5. ^ a b Rahardjo, dkk (2013), hlm. 76
  6. ^ Yayasan Lembaga Sabda (YLSA) (tanpa tanggal). "Yohanes 3:16 (Versi Paralel)". Alkitab Sabda. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-05-23. Diakses tanggal 22 Desember 2020. 
  7. ^ a b c Mulyati (2020), hlm. 307
  8. ^ Hatmadji, dkk (2009), hlm. 271
  9. ^ a b Rahardjo, dkk (2013), hlm. 74
  10. ^ Rahardjo, dkk (2013), hlm. 75
  11. ^ Hatmadji, dkk (2009), hlm. 271–272
  12. ^ a b Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah (2 April 2018). "Gereja Salib Putih, Bukti Sejarah Penyebaran Agama Kristen di Kawasan Semarang dan Salatiga". Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah, Direktorat Jenderal Kebudayaan Republik Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-07-16. Diakses tanggal 19 Mei 2020. 
  13. ^ Hatmadji, dkk (2009), hlm. 272
  14. ^ Seo (2013), hlm. 111
  15. ^ Bangngu, Puspita & Gasong (2018), hlm. 92
  16. ^ Dese & Wibowo (2019), hlm. 139
  17. ^ Donalia & Sanubari (2020), hlm. 308
  18. ^ Damayanti, Franksisca & Priyanto (2019), hlm. 181
  19. ^ Mulyati (2020), hlm. 307–309
  20. ^ a b c Salatiga.nl (tanpa tanggal). "Witte Kruis Kolonie (Salib Putih)". Salatiga.nl. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-10-27. Diakses tanggal 31 Desember 2020. 
  21. ^ Salatiga.nl (tanpa tanggal). "Uit de Indische Bladen. De Heer Van Emmerik en het Leger des Heils". Salatiga.nl. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-10-27. Diakses tanggal 31 Desember 2020. 
  22. ^ Brouwer (1950), hlm. 78–79
  23. ^ Sumartana (2012), hlm. 9–10
  24. ^ a b c d Rahardjo, dkk (2013), hlm. 72
  25. ^ a b Mulyati (2020), hlm. 304
  26. ^ a b Chao (2017), hlm. 62
  27. ^ Ismael (1954), hlm. 42
  28. ^ a b c Sinode Gereja Kristen Jawa (29 Januari 2020). "Doa untuk Salib Putih". Sinode Gereja Kristen Jawa. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-07-25. Diakses tanggal 22 Mei 2020. 
  29. ^ a b c d e f g Mulyati (2020), hlm. 305
  30. ^ Rahardjo, dkk (2013), hlm. 72–73
  31. ^ Platzdasch (2014), hlm. 72
  32. ^ a b Damayanti, Franksisca & Priyanto (2019), hlm. 183
  33. ^ Rohman (2020), hlm. 125
  34. ^ Raharjo (2019), hlm. 119
  35. ^ Kana & Daldjoeni (1987), hlm. 82
  36. ^ Raharjo (2019), hlm. 119–120
  37. ^ Mulyati (2020), hlm. 305–306

Daftar pustaka

Buku

  • Brouwer, Melattie Margaretha (1950). Zamrud di Khatulistiwa: Sejarah Gereja Bala Keselamatan di Indonesia Jilid I. Semarang: Bala Keselamatan Indonesia. 
  • Chao, En-Chieh (2017). Entangled Pieties: Muslim–Christian Relations and Gendered Sociality in Java, Indonesia (Contemporary Anthropology of Religion). New York: Springer International Publishing. 
  • Frick, Heinz; Setiawan, Puja L. (2001). Ilmu Konstruksi Struktur Bangunan (Cara Membangun Kerangka Gedung Ilmu Konstruksi Bangunan 1). Yogyakarta: Kanisius. 
  • Hatmadji, Tri, dkk (2009). Kajian dan Hasil Identifikasi Bangunan Bersejarah di Kota Salatiga. Klaten: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-07-18. Diakses tanggal 2020-05-20. 
  • Ismael, Dina (1954). Zamrud di Khatulistiwa: Sejarah Gereja Bala Keselamatan di Indonesia Jilid II. Semarang: Bala Keselamatan Indonesia. 
  • Kana, Nico L.; Daldjoeni, N. (1987). Ikrar dan Ikhtiar dalam Hidup Pendeta Basoeki Probowinoto. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 
  • Kindangen, Jefrey I. (2019). Ventilasi Atap. Yogyakarta: Deepublish. 
  • Platzdasch, Bernhard (2014). Religious Diversity in Muslim–Majority States in Southeast Asia (Areas of Toleration and Conflict). Singapura: Markono Print Media. 
  • Purnomo, Hadi; Sastrosupono, M. Suprihadi (1988). Gereja-Gereja Kristen Jawa, GKJ: Benih yang Tumbuh dan Berkembang di Tanah Jawa. Jakarta: Taman Pustaka Kristen (TPK), Gunung Mulia untuk Sinode Gereja-Gereja Kristen Jawa. 
  • Rahardjo, Slamet, dkk (2013). Sejarah Bangunan Cagar Budaya Kota Salatiga. Salatiga: Pemerintah Daerah Kota Salatiga. 
  • Seo, Myengkyo (2013). State Management of Religion in Indonesia. New York: Routledge. 
  • Sumartana (2012). Komunitas Kristen di Jawa Tengah (Sepenggal Sejarah Gereja Kristen Jawa). Salatiga: BPK Gunung Mulia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-10-27. Diakses tanggal 2020-05-21. 

Jurnal

Bacaan lanjutan

  • Bala Keselamatan Indonesia (1971). Sedjarah Ringkas dan Perkembangannja. Semarang: Bala Keselamatan Indonesia. 
  • Harnoko, Darto, dkk (2008). Salatiga dalam Lintasan Sejarah. Salatiga: Dinas Pariwisata, Seni, Budaya, dan Olah Raga Kota Salatiga. 
  • Probowinoto, Basuki (1995). Ikrar dan Ikhtiar dalam Hidup Pendeta Basoeki Probowinoto. Jakarta: Gunung Mulia. 

Pranala luar

Kembali kehalaman sebelumnya