Iha, Huamual, Seram Bagian Barat
Iha adalah Negeri (desa adat) yang berada di kecamatan Huamual, Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku, Indonesia. Sebagai sebuah Negeri, Iha mempunyai teung Nurwaitu Amalatu. Secara historis Negeri Iha memiliki hubungan yang erat dengan Negeri Kulur, sehingga sering disebut sebagai Iha-Kulur atau dikenal dengan nama Ama Iha Ulupia sebagai simbol kesatuan budaya dan tradisi. Meskipun memiliki hubungan adat yang kuat, secara teritorial dan administratif negara, kedua desa ini telah terbagi menjadi dua entitas yang terpisah, yakni Desa Iha dan Desa Kulur. [1][2] Demografi dan WilayahPendudukJumlah Penduduk Iha menurut Badan Pusat Statistik Seram Bagian Barat tahun 2023 adalah 6.210 jiwa yang terdiri dari 3.163 laki-laki dan 3.047 perempuan. Seluruh penduduk desa Iha beragama Islam Sunni. Secara geografis desa Iha tergolong sebagai desa pesisir karena berada di perbatasan antara daratan dan lautan, oleh karena itu mayoritas penduduk di desa Iha berprofesi sebagai petani dan nelayan.[3] WilayahBatas-batas wilayah di desa Iha adalah sebagai berikut:
Jarak Desa Iha ke Pusat Kecamatan yang terletak di Desa Luhu adalah 1 km, sedangkan jarak Desa Iha ke Pusat Kabupaten yang terletak di Kota Piru adalah 45 km yang dapat di tempuh menggunakan kendaraan darat. Adapun jarak Desa Iha ke Pusat Provinsi yang terletak di Kota Ambon adalah 40 km yang harus menggunakan kendaraan laut dan darat. Dengan luas wilayah 64.69 km2, Desa Iha terdiri dari 5 Wijk/Wick dan 6 Dusun.
BahasaBahasa yang di tuturkan di Desa Iha adalah Bahasa Saparua dengan Dialek Iha-Seram. Bahasa ini termasuk dalam rumpun Austronesia. Bahasa Saparua terdiri dari beberapa dialek, diantaranya dialek Iha-Seram, Iha-Saparua, Kulur dan Sirisori. Bahasa Saparua, juga memiliki tingkat kemiripan leksikal sebesar 82-84% dengan Bahasa yang dituturkan di Latu, Hualoy dan Tomalehu.[4][5] Sejarah PerpindahanNegeri Iha memiliki sejarah yang erat kaitannya dengan Kerajaan Islam Di Pulau Saparua yakni Kerajaan Iha. Pasca kekalahan perang melawan VOC pada Perang Iha 2 (1632-1651) masyarakat Iha mengalami perubahan besar yang dipengaruhi oleh dinamika kolonialisme Belanda di Maluku. Kekalahan ini tidak hanya mengakhiri kedaulatan Kerajaan Iha di Saparua, tetapi juga memicu terjadinya beberapa kali migrasi penduduk. Proses perpindahan penduduk ke Seram Barat (Huamual) tidak lepas dari kebijakan Gubernur Arnnold De Vlaming pada abad ke-17. Pengosongan oleh De VlamingPada pertengahan abad ke-17, De Vlaming menjalankan kebijakan depopulasi besar-besaran di wilayah Huamual. Kebijakan ini dilakukan untuk mencegah munculnya pemberontakan lebih lanjut setelah pemberontakan yang dipimpin oleh Kimalaha Madjira (1651-1658) berhasil dipadamakan. Masyarakat setempat dipindahkan ke wilayah lain seperti Pulau Ambon dan sekitarnya. Mereka yang tertangkap di Huamual dipaksa pindah, dan wilayah ini dibiarkan kosong selama beberapa dekade. Selain itu, kebijakan ini bertujuan untuk mencegah penghidupan kembali perkebunan cengkeh, yang sering menjadi pusat konflik dan untuk menjaga monopoli perdagangan rempah-rempah VOC di Kepulauan Maluku dan sekitarnya[6] Kedatangan ke HuamualKedatangan Penduduk Iha ke Huamual terjadi sekitar pertengahan abad ke-18 (kurun waktu1732-1735) atas persetujuan Pemerintah Hindia Belanda di Batavia melalui surat tertanggal 11 Maret 1732. Sehingga daerah ini mulai dihuni kembali setelah periode kekosongan bersamaan dengan proses kembalinya penduduk lokal ke Huamual yang dilakukan secara perlahan seiring dengan berakhirnya kebijakan VOC yang melarang penduduk lokal tinggal di wilayah tersebut. Wilayah ini kembali dibuka untuk aktivitas ekonomi dan pemukiman di bawah kebijakan pemerintah kolonial yang lebih longgar setelah VOC digantikan oleh Pemerintah Hindia Belanda [6] KelembagaanSecara Struktural, Negeri Iha dipimpin oleh seorang Raja dari Marga Latukaisupy dengan gelar Upulatu Sopakua Latu, 1 orang sekretaris yang berasal dari Marga Kaisupy, 6 orang menteri atau kepala Soa dengan gelar Jou, 12 orang Penasehat Adat yang disebut Tukang Negeri, dan 12 orang pengrajin yang dipimpin oleh Tukang Ja'i dari marga Kaisupy. Setiap jabatan tersebut memiliki tugas dan fungsi masing-masing untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Iha.
Raja Iha memikul tanggung jawab penuh atas semua kegiatan adat dan wilayahnya, menjadikannya pemimpin tertinggi yang memastikan kelestarian adat serta kesejahteraan rakyatnya. Para pejabat negeri, yang juga memiliki kewenangan khusus, melaksanakan tugas sesuai dengan mandat adat yang diwariskan secara turun-temurun. Setiap Kepala Soa, yang berasal dari marga tertentu, memiliki tugas dan tanggung jawab khusus:
TradisiNilai-nilai tradisional dan adat yang di Negeri Iha diwariskan secara turun-temurun. Beberapa tradisi penting yang masih dijunjung tinggi oleh masyarakat Iha adalah sebagai berikut: Hukum CambukTradisi Hukum Cambuk adalah bagian dari sistem hukum adat yang bertujuan untuk menegakkan norma, menjaga ketertiban, dan memberikan efek jera bagi pelanggar aturan adat. Tradisi ini berasal dari masa Kerajaan Iha di Pulau Saparua. Awalnya, hukum cambuk digunakan untuk menangani berbagai pelanggaran adat, termasuk pencurian, perjudian, dan konsumsi minuman keras. Hingga kini hukum cambuk tetap dipertahankan sebagai bagian dari sistem hukum adat. Hukum cambuk mulai diterapkan secara sistematis sekitar tahun 1950 di bawah pemerintahan Raja Abdul Gawi Latu Kaisupy. Tradisi ini juga memiliki dasar hukum adat yang tertuang dalam kitab klasik “BukuTembaga” yang memuat aturan dan norma adat di Negeri Iha Kulur. Meskipun menghadapi tantangan dari perkembangan zaman dan kritik terkait Hak Asasi Manusia, hukum cambuk tetap bertahan hingga kini karena dianggap efektif dalam menjaga ketertiban, memberikan efek jera, dan melestarikan identitas budaya masyarakat Negeri Iha Kulur.[8] SasiSasi adalah tradisi adat masyarakat Maluku, termasuk di Negeri Iha yang telah berkembang selama berabad-abad sebagai cara mengelola sumber daya alam (SDA) secara berkelanjutan. Tradisi ini bertujuan untuk menjaga keseimbangan antara pemanfaatan SDA dan pelestariannya agar dapat diwariskan kepada generasi berikutnya. Di Negeri Iha, Sasi terintegrasi dalam sistem pemerintahan adat yang dipimpin oleh raja. Raja menetapkan kapan SDA dapat diakses atau dilindungi, dengan dukungan lembaga adat seperti Kewang yang berperan sebagai penjaga hutan adat. Tradisi Sasi diterapkan pada berbagai SDA yang bernilai ekonomi tinggi. Beberapa jenis SDA yang dikelola melalui Sasi di Iha meliputi:
Praktik Sewa CengkehTradisi perjanjian sewa cengkeh adalah praktik adat di Negeri Iha yang melibatkan penyewaan lahan cengkeh kepada pihak lain, baik untuk panen langsung atau sebelum musim panen dimulai. Tradisi ini mengintegrasikan hukum adat dan hukum Islam, sehingga memiliki dasar keadilan sosial, nilai kekeluargaan, dan musyawarah. Tradisi ini berakar pada hubungan masyarakat adat dengan tanah ulayat, yang telah berlangsung sejak abad ke-16 ketika Portugis pertama kali datang mencari rempah-rempah. Sebagai salah satu komoditas bernilai tinggi, pengelolaan cengkeh dilakukan dengan prinsip-prinsip adat yang dipimpin oleh raja, yang berperan sebagai mediator dan pembuat keputusan dalam setiap perjanjian. [7] Hubungan SosialHubungan dengan Negeri sekitarDi Kecamatan Huamual, Negeri Iha bertetangga dengan Negeri Luhu yang juga beragama Islam. Hubungan antara kedua Negeri ini terjalin dalam interaksi sosial yang erat, seperti perkawinan antarwarga dan kerja sama dalam aktivitas ekonomi. Namun, hubungan tersebut kerap diwarnai konflik yang sering kali dipicu oleh kenakalan remaja dan sengketa batas wilayah. Konflik ini seringkali menimbulkan korban jiwa, kerusakan rumah warga, serta fasilitas umum, yang memperburuk hubungan antar kedua Negeri.[10] Hubungan PelaBerdasarkan catatan tertulis, diketahui bahwa Negeri Iha memiliki hubungan Pela dengan Negeri Kaibobo yang beragama Kristen di Pulau Seram. Selain itu Iha juga memiliki hubungan Pela dengan dengan Negeri Kulur yang beragama Islam di Pulau Saparua. Namun, untuk Negeri Kulur cukup menarik, apakah hubungan Pela ini terbentuk ketika Iha masih berada di Pulau Saparua ataukah baru terjalin setelah Negeri Iha hijrah ke Pulau Seram? Bisa jadi hubungan Pela antara Negeri Iha dan Negeri Kulur berkaitan karena adanya sebagian masyarakat Negeri Kulur yang ikut serta dalam perjalanan hijrah ke Pulau Seram sehingga terbentuklah Negeri baru yang bernama Iha Kulur. Hubungan GandongGandong berarti bersaudara, berasal dari kata kandung atau kandungan. Dalam tradisi di Maluku, Gandong merupakan hubungan persaudaraan berdasarkan gen yang diwariskan oleh para moyang dari negeri-negeri yang memiliki hubungan persaudaraan. Hubungan Gandong antara Iha pernah tercatat cukup tua dengan Negeri Tuhaha dan Ullath terutama ketika masyarakat Iha masih berada di Pulau Saparua. Namun, dinamika hubungan ini mengalami perubahan signifikan pasca peristiwa Perang Iha. Dalam perang tersebut, Sasabone dari Tuhaha justru membantu VOC menyerang Iha, yang tentu saja dianggap telah menodai ikatan Gandong yang sebelumnya ada, Akibatnya, hubungan Gandong Iha dengan Tuhaha dan Ullath menjadi kurang signifikan, tidak terjaga dengan baik dan terkesan tidak diakui lagi terlebih ketika Iha telah terpecah menjadi 3 Negeri yang berbeda. Hubungan Gandong Negeri Iha sebenarnya baru terbentuk pasca runtuhnya Kerajaan Islam Iha di Pulau Saparua yang membuatnya terpecah menjadi 3 Negeri yang berbeda, yaitu:
Meskipun terpisah secara geografis dan bahkan beragam keyakinan, hubungan Gandong ini terus terawat hingga kini sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur dan persatuan antar 3 negeri bersaudara (baca: Ade-Kaka). Tokoh
Lihat pulaReferensi
|