Saidullah dari Banjar
Saidullah,[2] atau Saidillah,[3][2] adalah Sultan Banjar keenam yang memerintah Kesultanan Banjar sejak tahun 1645 hingga kematiannya pada tahun 1660. Ia memerintah menggantikan ayahnya, Inayatullah dari Banjar.[4] KeluargaJika dihitung sejak masa pra-Islam maka Saidullah merupakan keturunan ke-11 dari Lambung Mangkurat dan juga keturunan ke-11 dari pasangan Puteri Junjung Buih dan Maharaja Suryanata. Maharaja Suryanata dijemput dari Majapahit sebagai jodoh Puteri Junjung Buih (gadis pribumi yang menjadi saudara angkat Lambung Mangkurat). Nama lahirnya adalah Raden Kasuma Alam. Ayahnya adalah Ratu Agung, bergelar Inayatullah dari Banjar, raja Banjar kelima. Ibundanya adalah Nyai Mas Tarah binti Tuan Haji Umar.[5] Setelah menikah Raden Kasuma Alam dikenal sebagai Pangeran Kasuma Alam. Pada masa itu Raden merupakan gelar bagi putra Raja tetapi setelah menikah dipanggil Pangeran.[2] Berkuasa (1645–1660)AksesiDengan mangkatnya ayahnya Sultan Inayatullah/Ratu Agung, maka Pangeran Kasuma Alam naik tahta sebagai Sultan Banjar (kepala negara) dengan dilantik oleh pamannya Pangeran Dipati Anta-Kasuma yang menjadi Raja Kotawaringin, yang sengaja datang dari Kotawaringin setelah mendengar mangkatnya kakakandanya. Pangeran Kasuma Alam ditabalkan sebagai Sultan Banjar dengan gelar dalam khutbah Sultan Saidullah atau gelar yang dimasyhurkan adalah Ratu Anom.[2] Mangkubumi (kepala pemerintahan) diputuskan masih dijabat oleh pamannya, Panembahan di-Darat. Panembahan di-Darat ini memiliki wewenang kekuasaan politik negara dan pemerintahan yang besar, sehingga Saidullah dianggap sebagai raja boneka. Ketika Panembahan di-Darat meninggal setelah menjabat mangkubumi selama 5 tahun, penggantinya adalah Ratu Kota Waringin (Pangeran Dipati Anta-Kasuma) yang juga menjabat selama 5 tahun kemudian mengundurkan diri karena uzur. Kemudian Pangeran Dipati Anta-Kasuma mengusulkan mangkubumi baru, adik tirinya yaitu Raden Halit/Pangeran Dipati Tapasena yang dilantik dengan gelar Pangeran Dipati Mangkubumi.[2] Perdamaian dengan VOCSetelah permusuhan yang panjang antara Banjar dan VOC sejak pemerintahan Mustain Billah dari Banjar, Belanda memutuskan bahwa perang melawan Banjar tidak membantu apapun, dan akhirnya menawarkan perdamaian. Usaha Belanda mendekati Kesultanan Banjar dengan hanya menuntut 50.000 real sebagai ganti rugi kejadian tahun 1638 serta akan melupakan apa yang terjadi, sama sekali tidak mendapat layanan dari Kesultanan Banjar, sehingga akhirnya Belanda mengalah agar kontrak dagang yang lebih menitik-beratkan pada keuntungan dagang daripada lainnya, yang penting bagi Belanda hubungan dengan Kesultanan Banjar perlu dipulihkan agar lada kembali diperoleh. Perjanjian damai antara Belanda dan Banjar telah direncanakan pada paruh kedua pemerintahan Saidullah, namun baru ditandatangani pada 1660, beberapa saat setelah Saidullah mangkat. MangkatSaidullah mangkat pada tahun 1660, tiga tahun setelah kematian pamannya, Pangeran Dipati Anta-Kasuma. Kemudian Ratu Hayu memimpin rapat Dewan Mahkota dan telah disetujui pembesar istana lainnya untuk menabalkan Pangeran Dipati Mangkubumi sebagai Penjabat Sultan Banjar dengan gelar Sultan Rakyatullah atau Pangeran Ratu, karena ketika itu Putera Mahkota (anak Sultan Saidullah) belum dewasa. Swargi Sultan Saidullah memiliki dua orang putera dari selir yaitu Raden Bagus dan Raden Basus yang kelak berhak menggantikannya sebagai raja.[2] KeturunanMula-mula Pangeran Kasuma Alam menikah dengan permaisuri sepupunya Putri Intan, puteri dari pasangan Pangeran Singasari/Raden Timbako dengan Ratu Hayu/Putri Busu (anak almarhum Sultan Mustain Billah), namun kemudian bercerai. Perceraian tersebut terjadi bersamaan pada saat pengiriman persembahan intan Si Misim kepada Kesultanan Mataram pada bulan Oktober tahun 1641 bertepatan tahun Saka 1564 yang masih dalam pemerintahan Sultan Mustain Billah. Kemudian Pangeran Kasuma Alam memiliki beberapa gundik atau selir. Tiga tahun setelah dilantik menjadi sultan ia mengambil seorang gundik/selir bernama Nyai Wadon yang kemudian meninggal ketika melahirkan puteranya yang bernama Raden Bagus.[2][6] Dari selir bernama Nyai Wadon Raras, Pangeran Kasuma Alam memperoleh putera dinamakan Raden Basus. Sedangkan dengan Nyai Wadon Gadung, Pangeran Kasuma Alam memperoleh seorang anak perempuan bernama Gusti Gade. Ketika Ratu Anom mangkat pada tahun 1660, Raden Bagus dan Raden Basus diperkirakan masih bayi.[2] Referensi
Pranala luar
|