Stasiun Yogyakarta
Stasiun Yogyakarta (YK) (bahasa Jawa: ꦱ꧀ꦠꦱꦶꦪꦸꦤ꧀ꦪꦺꦴꦒꦾꦏꦂꦠ/ꦔꦪꦺꦴꦒꦾꦏꦂꦠ, translit. Stasiyun Yogyåkartå/Ngayogyåkartå), terkadang ditulis Stasiun Jogjakarta[b], dan juga dikenal sebagai Stasiun Tugu, adalah stasiun kereta api kelas besar tipe A yang terletak di Sosromenduran, Gedongtengen, Kota Yogyakarta pada ketinggian +113 meter dengan jarak 312 km arah barat dari Surabaya Kota dan 516,3 km arah tenggara dari Jakarta Kota melalui Pasar Senen. Stasiun ini merupakan stasiun kereta api utama di Daerah Istimewa Yogyakarta serta dalam pengelolaan Kereta Api Indonesia (KAI) Daerah Operasi VI Yogyakarta bersama dengan anak perusahaan PT KAI (Persero) seperti KAI Commuter dan KAI Bandara. Bangunan stasiun beserta rel KA yang membujur dari barat ke timur berada di Gedongtengen. Stasiun tersebut juga adalah penghubung sentral dalam sistem perkeretaapian Indonesia yang berperan sebagai titik tengah dari lintas selatan Pulau Jawa yang menghubungkan DKI Jakarta/Kota Bandung, Jawa Barat dengan Kota Surabaya, Jawa Timur. Sebagai penghubung utama di jalur selatan Pulau Jawa, Stasiun Yogyakarta melayani kereta api antarkota kelas eksekutif dan sebagian besar kelas campuran beserta kereta bandara YIA dan komuter seperti Commuter Line Yogyakarta dan Prambanan Ekspres. Stasiun besar lainnya di Kota Yogyakarta, yaitu Stasiun Lempuyangan dikhususkan untuk melayani KA antarkota lintas selatan kelas ekonomi, kereta rangkaian panjang (KA Jayakarta), sebagian kecil kelas campuran, dan Commuter Line Yogyakarta.[4] Berdasarkan jumlah penumpang kereta api antarkota yang dirilis PT Kereta Api Indonesia (KAI) antara Januari–Oktober 2024, Stasiun Yogyakarta menjadi stasiun kereta api tersibuk di luar Jabodetabek dengan mencatatkan 4.847.417 penumpang berdasarkan total jumlah penumpang naik maupun turun.[a] SejarahGenerasi pertama (1887–1928)Menurut rencana yang dibuat oleh Staatsspoorwegen (SS) pada tahun 1884, setelah beberapa tahun berkutat dengan masalah konsesi jalur antara pemerintah dan Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS), dan juga rampungnya hubungan Surabaya–Solo dan Batavia–Bogor–Cicalengka, stasiun terminus untuk Yogyakarta direncanakan akan dibangun di kawasan Tugu, tepatnya di sebelah barat dari terminus Stasiun Lempuyangan (dulunya disebut sebagai Djocja Vorstenlanden atau Djocja NIS) milik Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS), dan akan menjadi terminus dari jalur kereta api Cilacap–Yogyakarta yang dibangun pada periode yang sama. Stasiun ini juga ditempatkan di sebelah timur bantaran Kali Winongo. Di masa-masa konstruksi proyek jalurnya, dibangun jembatan gantung untuk lalu lalang pekerja proyek. Hubungan dengan stasiun milik NIS akan membuat lalu lintas kereta api semakin lancar. Jalur Cilacap–Yogyakarta dibangun melalui berbagai daerah yang padat penduduk serta melewati Bagelen dan Banyumas selatan, hingga akhirnya mencapai Cilacap.[6] Stasiun ini dibangun di depan Hotel Toegoe, dan mempekerjakan lebih dari 1.000 orang per hari. Selain membangun stasiun, juga membangun rumah dinas pegawai kereta api, dan ditempatkan strategis agar dekat dengan kawasan permukiman Eropa dan Tionghoa, dan tidak berjarak lebih jauh (2 pal) dari pusat kota Yogyakarta. Di samping membangun stasiun, juga membangun penghubung antara stasiun ini dengan Lempuyangan (kelak dikenal sebagai Jembatan Kewek). Buruh-buruh proyek jalur tersebut diupah sebesar 80 sen, sesuatu yang dapat dianggap bernilai besar pada masa itu.[7] Jembatan Kewek mulai beroperasi pada 7 Juli 1887, memotong Sumbu Filosofis Yogyakarta, sedangkan Stasiun Yogyakarta mulai beroperasi 13 hari kemudian dengan beroperasinya jalur Cilacap–Yogyakarta. Stasiun ini dahulu dirujuk sebagai Djocja Toegoe atau Djokja Toegoe.[8] Menjelang masa operasional penuhnya, Hotel Toegoe, yang menjadi salah satu hotel unggulan di Yogyakarta, mulai membenahi pelayanan. Bahkan, ada seorang Tionghoa yang mencoba ikut mencari peruntungan dengan menjadikan rumahnya sebagai alternatif penginapan.[9] Beberapa waktu setelah hubungan antara Batavia–Surabaya lewat jalur selatan selesai terbentuk pada 1894, muncul kembali wacana untuk mengubah jalur kereta api Semarang–Vorstenlanden dari 1.435 mm (4 ft 8+1⁄2 in) menjadi 1.067 mm (3 ft 6 in) agar dapat beradaptasi dengan jalur lain. Wacana ini sebenarnya sudah mengemuka sejak 1875, dilakukan antara Pemerintah Kolonial Hindia Belanda dan Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS).[8] Pemerintah telah memperkirakan bahwa ketika hubungan Batavia dan Surabaya sudah terbentuk, akan banyak wisatawan yang mengeluh karena terpaksa harus berganti kereta, atau bahkan menginap di Yogyakarta. Alih-alih mengubah lebar sepurnya menjadi 1.067 mm, NIS dan SS memilih sepakat untuk memasang lebar sepur ganda agar kereta api dengan sepur 1.067 mm dapat berjalan di jalur NIS.[10] Pada 15 Juni 1899, lebar sepur ganda tersebut sudah bisa dilalui kereta api 1.067 mm milik SS.[11] Generasi kedua (1928–sekarang)Pada Agustus 1928, Stasiun Tugu mulai menjalani renovasi. Pertama, dibangun kantor administrasi dan inspektur angkutan, yang semula masih bersatu dengan ruang kepala stasiun.[12] Berikutnya, hingga Oktober 1928, proyek pembangunan ulang Stasiun Tugu juga merambah ke hall depan, yang mengubah total bentuk arsitektur lama yang berciri Neoklasik menjadi art deco, dan juga merombak tata letak ruang administrasi dan kepala stasiun.[13] Setelah membangun ulang seluruh bangunan utama stasiun, kanopi peron utara stasiun diperpanjang agar penumpang tidak kepanasan atau kehujanan saat menunggu kereta api.[14] Setelah renovasi pada bangunan utama stasiun, pada 1929, emplasemen Stasiun Tugu pun direncanakan akan diperluas 32 m. Renovasi stasiun ini tampaknya merupakan "tambal sulam", karena masih terdapat bagian bangunan tengah yang masih asli sejak 1887. Algemeen Handelsblad berpandangan bahwa SS seharusnya mencontoh NIS yang membangun stasiun yang tampil menawan dan monumental, dengan tetap menghemat lahan.[15] Stasiun ini menjadi tujuan akhir perjalanan kereta luar biasa Presiden Republik Indonesia pertama, Ir. Soekarno, saat memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Yogyakarta. Keberangkatannya dimulai pada 3 Januari 1946 pukul 18.00 dan tiba di Yogyakarta pada 4 Januari keesokan harinya. Rombongan pun diterima dengan hangat oleh Sultan Yogyakarta kala itu, Hamengkubuwana IX.[16] Seiring berkembangnya Kota Yogyakarta, emplasemen Stasiun Tugu menjadi semakin sempit, sedangkan volume lalu lintas kereta apinya semakin meningkat. Persilangan dan persusulan kereta api menjadi semakin kompleks dan kadangkala kereta api harus dialihkan persilangannya dengan berbagai cara. Bahkan itu tidak hanya terjadi di stasiun kecil di rute Yogyakarta–Solo. Kegiatan langsiran di Stasiun Yogyakarta menjadi sulit apabila kereta apinya memiliki ukuran besar, sedangkan kereta api penumpang terus meningkat. Sejumlah perluasan perlu dilakukan untuk mengatasi masalah ini, meskipun perluasan ke utara maupun selatan pun tampaknya sudah tidak mungkin, karena telah banyak permukiman di situ. Begitu juga ke timur, dikhawatirkan akan mengorbankan Jalan Malioboro dan Hotel Toegoe yang merupakan bagian dari Sumbu Filosofis. Akhirnya satu-satunya pilihan untuk memperluas emplasemen adalah ke arah barat (Bong Suwung).[17] Stasiun ini ditetapkan sebagai cagar budaya oleh Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta.[18] Bangunan dan tata letakStasiun Yogyakarta terbagi menjadi dua emplasemen, yaitu emplasemen utara dan selatan, dan juga memiliki dua pintu masuk dan keluar. Pintu utama yang menghadap ke Jalan Margo Utomo, termasuk wilayah Kelurahan Gowongan, Kemantren Jetis, hanya untuk keberangkatan kereta api antarkota dan aglomerasi. Sementara itu, pintu selatan yang menghadap ke arah Jalan Pasar Kembang—wilayah Kelurahan Sosromenduran, Kemantren Gedongtengen dikhususkan untuk keberangkatan layanan kereta bandara YIA, komuter Commuter Line, serta kedatangan penumpang kereta api antarkota dan aglomerasi saja. Stasiun ini memiliki bangunan khusus untuk loket di pintu selatan. Di sebelah barat stasiun ini terdapat dua percabangan jalur yang seluruhnya sudah dinonaktifkan, yaitu jalur menuju Magelang–Parakan dan menuju Palbapang, Bantul. Jalur menuju Magelang telah dinonaktifkan pada tahun 1975 sehubungan dengan letusan Gunung Merapi, tetapi bekas jalur ini masih dapat terlihat di beberapa tempat di Jalan Tentara Pelajar, Yogyakarta.[19] Jalur tersebut juga memiliki percabangan di Secang menuju Museum Kereta Api Ambarawa melalui Tuntang hingga berakhir di Kedungjati yang juga telah dinonaktifkan. Selain itu, jalur menuju Palbapang dinonaktifkan pada rentang tahun 1973–1980-an, tetapi bekas jalur ini juga masih dapat terlihat di beberapa tempat, salah satunya di lapangan parkir di sisi barat laut Keraton Yogya. Berbeda dengan stasiun dan jalur kereta api di luar Yogyakarta yang berstatus sebagai milik Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) atau KAI, tanah tempat bangunan stasiun ini berdiri berstatus sebagai tanah milik Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (Sultan Ground). Bahkan, ketika KAI hendak mencatatkan tanah stasiun ini sebagai aset tetap, Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat menuntut "kerugian" sebesar Rp1.000,00.[20] Menanggapi kasus hukum tersebut, kuasa hukum Keraton menganalogikan kerugian tersebut sebagai ucapan salam dalam bahasa Jawa, nuwun sewu, yang artinya "permisi".[21] Sengketa lahan tersebut berakhir damai, dan KAI mengakui bahwa lahan konsesi jalur kereta api tersebut adalah milik Kesultanan.[20] Awalnya, semua peron pada stasiun ini merupakan peron rendah. Kemudian, pada tahun 1999, peron tinggi pertama stasiun ini dibangun di jalur 2 peron selatan untuk mengakomodasi tinggi pintu kereta eksekutif saat itu.[22] Awalnya, stasiun ini memiliki 12 jalur kereta api, sebelum akhirnya berkurang menjadi 11. Sebelum pembangunan jalur ganda dimulai sekitar tahun 2004, jalur 3 lama merupakan sepur lurus arah Solo Balapan, sedangkan jalur 4 merupakan sepur lurus arah Kutoarjo.[23] Pada saat pembangunan jalur ganda hingga pengoperasiannya di segmen Yogyakarta–Brambanan per 8 Januari 2007[24] dan kemudian segmen Yogyakarta–Kutoarjo pada 25 September 2007[25] hingga akhirnya diresmikan secara keseluruhan pada 22 Januari 2008,[26] tata letak stasiun mengalami perubahan: jalur langsir yang masih utuh—walaupun sudah dicabut—diubah menjadi jalur 1, jalur 1 lama diubah menjadi jalur 2, dan jalur 2 lama diubah menjadi jalur 3 sebagai sepur lurus dari dan ke arah Kutoarjo. Selain itu, peron tinggi ditambahkan pada jalur 3—menimbun jalur 3 lama—dan jalur 5. Saat ini, jalur 3 dijadikan sepur lurus arah Solo Balapan dan sepur belok dari arah Kutoarjo, jalur 4 dijadikan sepur lurus dari arah Kutoarjo, dan jalur 5 dijadikan sepur lurus ke arah Kutoarjo. Di kawasan stasiun terdapat depo lokomotif dan depo kereta maupun gerbong yang berturut-turut terletak di sebelah barat laut dan barat. Pemutar rel berada di barat depo lokomotif yang terletak di sebelah barat laut stasiun. Ke arah timur stasiun, terdapat perlintasan sebidang yang berupa gerbang geser dengan nomor 3A dan 3B yang dikhususkan untuk sepeda, becak, andong, atau pejalan kaki yang melintas di sekitar kawasan Jalan Malioboro. Selain itu, terdapat jembatan yang membentang di atas Kali Code yang dikenal dengan sebutan Jembatan Kewek yang melintang di atas Jalan Abu Bakar Ali.[c] Stasiun ini sering mengalami renovasi dan penataan ulang, antara lain dengan pembangunan peron tinggi serta penambahan atap kanopi.[27] Sistem parkir juga mengalami perubahan: pintu timur dan selatan kini hanya digunakan untuk tempat antar-jemput dan parkir becak, sedangkan tempat parkir terletak di sebelah barat daya kompleks stasiun. Di stasiun ini terdapat terowongan (underpass) penyeberangan peron yang digunakan mulai 26 Desember 1959 untuk memfasilitasi penumpang yang ingin berpindah peron antara emplasemen utara dan selatan demi meningkatkan keselamatan. Terowongan ini sempat ditutup sementara pada tahun 2019 karena direnovasi besar-besaran hingga akhirnya dibuka kembali pada tanggal 31 Juli 2023.[28][29] Dalam rangka mewujudkan stasiun kereta api besar bertaraf internasional, stasiun ini sejak musim mudik lebaran 2016 telah dilakukan renovasi secara menyeluruh, antara lain merombak loket stasiun di pintu selatan, serta pemasangan lantai granit, pengecatan ulang, dan lain-lain.[30] Di selatan stasiun terdapat banyak kios yang saling berimpitan, ekspedisi barang, dan kios penjualan tiket pesawat dan kereta api yang telah digusur pada tahun 2017 karena tidak memiliki izin dan dianggap kumuh oleh KAI.[31] Stasiun ini memiliki ruang tunggu eksekutif, Anggrek Executive Lounge, dioperasikan oleh KAI Wisata yang memanfaatkan bangunan pendopo belakang stasiun.[32] Terkait proyek pemutakhiran sistem persinyalan elektrik kereta api di stasiun ini, telah dilakukan pemasangan sistem persinyalan elektrik baru produksi Len Industri per April 2021 yang menggantikan sistem persinyalan elektrik lama produksi Siemens.[33] Persinyalan ini telah aktif mulai September 2021.[butuh rujukan]Bersamaan dengan itu, lintasan jalur rel antara stasiun ini dan Stasiun Lempuyangan dijadikan sebagai jalur-tunggal ganda atau sepur kembar. Pada 28 September 2022, PT Kereta Api Indonesia (Persero) telah melakukan uji coba sistem pengenalan wajah pada proses keberangkatan kereta api antarkota di Stasiun Bandung dan per 10 Juli 2023, Stasiun Yogyakarta sudah menerapkan sistem tersebut bersama sembilan stasiun KA utama Pulau Jawa lainnya seperti Stasiun Malang, Solo Balapan, Surabaya Gubeng, Surabaya Pasarturi, Madiun, Semarang Tawang, Purwokerto, Cirebon, dan Jakarta Gambir.[34] Mulai 2 Desember 2023, aula timur dari emplasemen selatan sudah beroperasi yang melayani komuter Commuter Line untuk memecah kepadatan di Stasiun Yogyakarta.[35] Sebagai bagian dari program revitalisasi beberapa stasiun KA utama di Pulau Jawa oleh Kementerian Perhubungan dan PT Kereta Api Indonesia (Persero), mulai 15 Februari 2024, keberangkatan layanan kereta api antarkota beserta aglomerasi yang biasanya bermula dari sisi utara stasiun berpindah ke sisi selatan stasiun yang notabene merupakan keberangkatan kereta komuter dan bandara.[36]
Ciri khasStasiun Yogyakarta memiliki dua monumen lokomotif di sisi timur dan selatan kawasan stasiun. Monumen yang terletak di pintu masuk keberangkatan sisi timur adalah mesin uap portabel (lokomobil) buatan Marshall Britannia, Britania Raya. Letaknya yang semula berada di tengah-tengah jalan masuk stasiun kini dipindahkan di sayap utara jalan tersebut. Sementara itu, monumen yang terletak di sisi selatan stasiun adalah lokomotif diesel hidraulis D301 22 yang dipajang sejak 12 Desember 2018. Pemajangan lokomotif ini dilakukan setelah seluruh bagian stasiun mengalami perombakan, antara lain menambahkan toilet dari mobil bekas dan dapat digunakan oleh masyarakat umum, tak hanya calon penumpang.[37][38] Selain monumen lokomotif, di pintu keberangkatan sisi timur dekat perlintasan sebidang terdapat tulisan "Stasiun Yogyakarta" dalam aksara Jawa yang dibuat menggunakan huruf timbul dengan ukuran besar. Stasiun ini memiliki lagu kedatangan kereta api berupa lagu keroncong instrumental berjudul, "Sepasang Mata Bola" karya Ismail Marzuki sebagai bel kedatangan kereta api di stasiun ujung Kota Yogyakarta mengisahkan perjuangan seorang pejuang yang melakukan perjalanan kereta api dari Jakarta menuju Yogyakarta. Lagu ini dibuat aransemen oleh YouTuber dengan genre keroncong, yaitu Purwaka Music.[39] Pada budaya populer
InsidenPada 14 November 2003, tiga kereta penumpang dengan dua kereta kelas bisnis dan satu kelas eksekutif anjlok di Depo Lokomotif Yogyakarta. Insiden ini bermula saat rangkaian kereta tersebut akan dicuci sebelum dikirim ke Jakarta. Namun, wesel bergerak sendiri saat rangkaian kereta dilangsir sehingga menyebabkan anjlok.[48] Pada 23 April 2014, seorang pria tewas ditabrak kereta api semen dengan nomor perjalanan 8067 relasi Lempuyangan–Purwokerto. Korban diduga mengalami gangguan kejiwaan. Peristiwa ini terjadi di sebelah utara Taman Parkir Abu Bakar Ali.[49] Pada 4 Juli 2017, seorang siswi SMK menghilang setelah turun dari kereta api Senja Utama Yogya di Stasiun Tugu. Dua hari kemudian, pada pukul 15.00 sore, pihak keluarga ditelepon oleh pengantar bahwa siswi tesebut telah diantar pulang ke rumahnya.[50] Pada 18 September 2022, beredar video pendek yang merekam kejadian salah satu penumpang kereta api Bangunkarta relasi Jombang–Pasar Senen terjatuh dan terserempet kereta, lantaran tertinggal oleh kereta tersebut, dan memaksa masuk ketika pintu kereta sudah tertutup dan kereta dalam kondisi berangkat meninggalkan Stasiun Yogyakarta. Penumpang tersebut mengalami cedera pada kaki kanan dan langsung mendapat perawatan.[51] Layanan kereta apiBerikut ini adalah layanan kereta api yang berhenti di stasiun ini sesuai Gapeka 2023 revisi per 1 November 2024. Antarkota
Aglomerasi
Kereta bandara
Komuter
Antarmoda pendukungBerikut adalah rute bus perkotaan yang dapat diakses dari Stasiun Yogyakarta.[52]
Galeri
Catatan kakiReferensiKutipan
Daftar pustakaEsha, Teguh (2005). Ismail Marzuki : musik, tanah air, dan cinta (edisi ke-Cet. 1). Jakarta: LP3ES. ISBN 979-3330-36-8. OCLC 74913436. Pranala luar
Wikimedia Commons memiliki media mengenai Yogyakarta Station.
|