Jalur kereta api Semarang–Vorstenlanden
Jalur kereta api Semarang–Vorstenlanden adalah jalur kereta api di Indonesia yang memiliki panjang panjang kurang lebih 167 kilometer (104 mi), menghubungkan Stasiun Semarang Tawang, Stasiun Solo Balapan, dan Stasiun Yogyakarta. Jalur kereta api ini termasuk dalam Daerah Operasi IV Semarang pada segmen Semarang Tawang–Gundih dan VI Yogyakarta pada segmen Gundih–Solo Balapan–Yogyakarta. Hampir seluruh jalur kereta api ini masih aktif, dengan pengecualian Stasiun Samarang yang ditutup pada tahun 1914. Secara kolektif, untuk segmen Semarang Tawang–Brumbung, merupakan bagian dari lintas utara Jawa, sedangkan ntuk segmen Yogyakarta–Solo, merupakan bagian dari lintas selatan Jawa. Segmen Brumbung–Gundih–Solo Balapan merupakan penghubung kedua segmen di atas. Pada segmen Yogyakarta–Solo, jalur ini membentang dari barat ke timur yang melayani kereta api penumpang maupun kereta api barang yang menghubungkan DKI Jakarta beserta wilayah penyangganya atau Jawa Barat[a] dengan Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur meskipun rute utama Jakarta–Surabaya adalah jalur utara Jawa melalui Kota Semarang. Pada segmen ini, terdapat banyak titik berpemandangan indah, terutama di daerah sekitar Candi Prambanan (dapat terlihat beberapa puncak candi Prambanan tersebut) dan di antara Stasiun Klaten dan Stasiun Delanggu dengan pemandangan gunung kembar (Gunung Merapi dan Gunung Merbabu) yang tampak sempurna dilatardepani oleh persawahan yang terhampar luas. Segmen pertama di jalur ini, yakni Samarang NIS–Tanggung, merupakan jalur kereta api umum pertama di Indonesia, mulai dibangun pada 17 Juni 1864, Dalam perkembangan berikutnya lintas kelanjutannya rampung: Kedungjati rampung 1868, Solo Balapan rampung 1870, dan terakhir sampai di Yogyakarta. Jalur ini dibina oleh Balai Teknik Perkeretaapian Kelas I Semarang.[1] Uniknya, seluruh jalur kereta api di Daerah Istimewa Yogyakarta berstatus sebagai Sultan Ground dan Paku Alam Ground.[2] SejarahPerkembangan awalDalam buku Stoom-spoorweg Vervoer op Java, jalur kereta api di Jawa telah digagas sejak 1840-an, tepatnya dengan terbitnya besluit tertanggal 28 Mei 1842, No. 207, yang disahkan oleh Raja Belanda, Willem II, dengan rute Samarang–Vorstenlanden.[3] Saat Sistem Tanam Paksa (cultuurstelsel), muncul gagasan untuk meningkatkan ekspor tanaman komoditas, terutama tebu, serta untuk meningkatkan mobilitas militer. Namun, konsesi tersebut banyak dikritik karena dibangun dalam skala yang terlalu kecil. Beberapa konsesi lain, seperti Batavia–Buitenzorg dan Pasuruan–Malang juga tidak dapat segera dilaksanakan, meski jalur tersebut berpotensi menghasilkan lalu lintas penumpang yang cukup besar dan angkutan barang yang sangat produktif di Jawa. Para pemegang konsesi tersebut, memahami situasi ini dan mereka juga bergegas untuk mengajukan konsesi bagi jalur Batavia–Buitenzorg.[4] Barulah pada bulan Agustus 1861, konsesi kemudian diajukan lagi dan pada tanggal 28 Agustus 1862 disahkan oleh Gubernur Jenderal yang berkuasa saat itu, Ludolph Anne Jan Wilt Baron Sloet van de Beele.[5] Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) kemudian dibentuk untuk menyelenggarakan proyek lintas tersebut. Pada tanggal 27 Agustus 1863, status badan hukum NIS dikukuhkan sebagai Naamloze Vennootschap (N.V.) melalui akta notaris Amya Esser di Amsterdam, dan segera melaksanakan proyek pembangunan lintas Samarang hingga Vorstenlanden (Solo dan Yogyakarta).[6] Jalur ini mulai dibangun pada hari Jumat pada tanggal 17 Juni 1864 di Kemidjen (km 0), dan peletakan batu pertamanya dilakukan oleh Gubernur Jenderal Baron van de Beele. Di km ini, stasiun kereta api pertama di Indonesia, Stasiun Samarang, dibangun. Pembangunan dilanjut hingga ke Tangoeng hingga akhirnya dibuka untuk umum pada tanggal 10 Agustus 1867. Secara keseluruhan, NIS membangun jalur Samarang–Vorstenlanden dalam empat seksi:[7]
Pembangunan seksi pertama diarahkan melalui dataran rendah, pedesaan, dan hamparan sawah, hingga akhirnya sampai di Stasiun Tanggung. Pada mil 28 (km 45), jalur ini mulai menyusuri hutan jati. Meskipun awalnya akan dibuka sepaket sebagai seksi pertama, Stasiun Kedungjati yang selesai 1867 belum juga dijalankan, karena seringnya insiden longsor di segmen Tanggung–Kedungjati.[8] Kelandaian pada segmen yang sedang dibangun tidak lebih besar dari 1/120. Pembangunan tubuh baan dilakukan pada porsi relatif kecil dan sering mengalami penundaan. NIS terus membujuk para pekerja pribumi untuk berpartisipasi dalam proyek. Meski peningkatan upah telah diupayakan oleh NIS, masih saja ada keberatan. Tanah yang digunakan untuk membangun jalur ini justru berkualitas buruk dan labil. Karena curah hujan yang tinggi antara 1867 hingga 1868 di Grobogan selatan, tanah sering kali bergeser atau bahkan longsor di beberapa tempat dan upaya perbaikan masih terus dilakukan meski bahan bangunan yang didatangkan ke lokasi proyek masih seadanya.[9] Upaya ini membuahkan hasil, karena tanggal 19 Juli 1868, jalur ini dibuka,[10] dan sehari sesudahnya, jalur ini diresmikan melalui perayaan yang cukup meriah dan dihadiri 280 warga lokal di Semarang. Dari Stasiun Kedungjati, jalur bercabang dua, yakni satu ke Stasiun Willem I (Ambarawa) dan satunya lagi menuju Solo.[11] Selain membuka jalur tersebut, pada 20 Juli 1868 NIS juga membuka jalur menuju Kanal Pelabuhan Timur (Oostzijde Havenkanaal) agar kereta api angkutan barang dapat langsung menuju pelabuhan sisi timur kota Semarang.[12] Pekerjaan dilanjut kembali pada seksi kedua. Dalam laporan yang dibuat NIS tahun 1869, muncul tantangan. Cuaca tidak menentu menghambat proyek, dan pembangunan bangunan hikmat berupa jembatan terhambat karena seringnya banjir bandang, terkhususnya pada awal musim penghujan. Sebagai contoh, terjadi banjir yang disebabkan luapan Kali Monggot, yang membuat jembatan di atasnya rusak. Perbaikan jembatan Kali Serang juga diupayakan selesai. Jembatan sementara di atas Kali Tuntang, yang dibangun untuk membantu proses pembangunan jembatan permanen, dibongkar. Kricak juga ditabur di sepanjang jalur. Pada 1868, bangunan Stasiun Padas, Gundih, dan Solo sudah rampung sehingga menyisakan pekerjaan rel.[8] Jalur seksi kedua ini rampung pada 10 Februari 1870,[12] dan diresmikan penuh pada delapan hari berikutnya (18 Februari).[13][10] Pekerjaan dilanjutkan kembali pada seksi ketiga, dengan bagian pertama adalah segmen Solo–Ceper. Pekerjaan pada segmen Delanggu–Ceper sempat terhenti pada Februari 1871 karena jembatan yang dibangun di atas Sungai Ceper, rusak karena terkena banjir. Akibatnya, penyelesaian segmen Ceper–Delanggu menjadi tertunda dan harus menjalani perbaikan besar. Padahal, anggaran pemerintah yang akan dikucurkan ke NIS sebesar ƒ200.000 untuk pembangunan segmen Ceper–Klaten terpaksa dialihkan pada perbaikan jembatan tersebut. Hal ini menimbulkan kerugian dan kekecewaan besar tidak hanya bagi NIS, tetapi juga bagi masyarakat sekitar proyek.[14] Hingga pertengahan Maret 1871, wesel di Stasiun Ceper sudah mulai dipasang, segmen Ceper–Delanggu sudah tabur kricak, dan kabel telegraf telah dipasang.[15] Sekitar sepekan sebelum pembukaan, NIS memasang iklan di beberapa koran, bahwa pada 27 Maret 1871, NIS membuka segmen Solo–Ceper.[16] Kemudian dilanjutkan dengan segmen Ceper–Klaten pada 9 Juli 1871.[17] Terakhir, segmen Klaten–Yogyakarta (Lempuyangan) dibuka 10 Juni 1872.[18] Pada tahun 1875, NIS bernegosiasi dengan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda sehubungan dengan perkembangan jalur Semarang–Vorstenlanden, sehubungan dengan rencana jalur Solo–Madiun yang nantinya akan disambung dengan Semarang–Vorstenlanden, dengan lebar sepur eksisting diubah dari 1.435 mm (4 ft 8+1⁄2 in) menjadi 1.067 mm (3 ft 6 in). Namun, kesepakatan ini belum membuahkan hasil, hingga akhirnya Staatsspoorwegen (SS) melaksanakan proyek Surabaya–Solo.[12] Pada 12 Maret 1883, Samarang–Joana Stoomtram Maatschappij (SJS) membangun jalur kereta api dari Stasiun Samarang SJS (Jurnatan) menuju Stasiun Samarang NIS.[12] Pada 16 Maret 1887, pada rute Solo–Yogyakarta, telah dibuka stasiun baru, Stasiun Gawok.[19] Pembangunan lebar sepur gandaSaat Staatsspoorwegen (SS) membangun jalur kereta api Cilacap–Yogyakarta pada 1885–1887, NIS tertarik untuk menyambungkan jalurnya untuk menghubungkan Stasiun Lempuyangan dengan Stasiun Yogyakarta (Tugu) milik SS. Penghubung jalur ini juga akan melintasi sungai utama di Kota Yogyakarta, yaitu Kali Code (kelak dikenal sebagai Jembatan Kewek).[20] Jembatan itu mulai beroperasi pada 7 Juli 1887, memotong Sumbu Filosofis Yogyakarta, sedangkan Stasiun Yogyakarta mulai beroperasi 13 hari kemudian.[12] Dengan dibukanya jalur tersebut, hubungan lintas selatan Jawa akhirnya terbentuk pada 1894. Alih-alih melakukan konversi ke lebar sepur Cape pada lintas Solo–Yogyakarta, NIS menawarkan rencana lain, yakni pembangunan lebar sepur ganda agar kereta api milik SS yang sepurnya 1.067 mm (3 ft 6 in) dapan berjalan di atas jalur SS dengan sepur 1.435 mm (4 ft 8+1⁄2 in). Adapun syarat yang diajukan NIS adalah, segala bentuk pengangkutan yang terjadi di rute tersebut menjadi sepenuhnya tanggung jawab NIS, begitu pula pendapatan dan laba yang diperoleh. SS dapat menjalankan kereta api jarak jauh untuk penumpang umum di jalurnya, sedangkan Negara Hindia Belanda berhak menjalankan kereta api untuk kepentingan militer (seperti pasukan dan persenjataan), dengan membayar sebesar 50% dari jumlah yang seharusnya diterima NIS. Kereta api lokal SS tidak diperkenankan untuk berjalan di jalur NIS. Dengan dibangunnya lebar sepur ganda tersebut, wisatawan yang memilih untuk tidak singgah di Yogyakarta dapat langsung melanjutkan perjalanannya ke Surabaya, maupun ke Batavia. Sebulan setelah rampung proyeknya, Pemerintah Kolonial berhak menjalankan kereta api penumpang, barang ekspres, barang muatan, dan hantaran, serta kereta api kosong maupun lokomotif seruntulan. Pemerintah tidak berkewajiban menjalankan KA khusus.[21] Pada 15 Juni 1899, lebar sepur ganda tersebut sudah bisa dilalui kereta api 1.067 mm milik SS.[22] Perkembangan abad ke-20Seiring dengan perkembangan jalur Yogyakarta–Solo, sejumlah stasiun mendapat perombakan. Pada 1907, Stasiun Kedungjati, Ambarawa, dan Purwosari diubah menjadi bangunan permanen dengan kanopi besar.[23] Sementara itu, Stasiun Maguwo baru dibuka 1 April 1909.[24] Pada tahun 1911, NIS menyadari bahwa Stasiun Samarang, stasiun kereta api pertama di jalur ini, mulai sering terkena banjir rob dan dianggap tidak nyaman lagi bagi penumpang. Menanggapi masalah tersebut, NIS mulai membangun stasiun kereta api baru di Tawang yang mulai dibangun pada 29 April 1911.[25] Selain membangun Stasiun Tawang, juga membangun jalur cabang dari Samarang NIS (kelak ditata ulang menjadi Semarang Gudang) menuju kanal sisi barat (Westzijde Havenkanaal) pada 16 September 1913. Pada 25 Mei 1914, hubungan antara Semarang Gudang (timur Samarang NIS) dan Tawang akhirnya mulai dioperasikan.[12] Stasiun ini telah selesai dibangun dan diresmikan pada 1 Juni 1914.[26] Pada 1 Januari 1924, dibangun jalur baru dari Semarang Gudang menuju Prauwenhaven (pelabuhan khusus perahu).[12] Karena jalur Yogyakarta–Solo semakin padat dan tidak memungkinkan bagi SS untuk berbagi jalur dengan NIS, pada 1926, NIS menawarkan kepada SS untuk membangun smalspoorbaan tersendiri agar kereta api SS tidak tercampur dengan NIS. Pembangunannya menelan biaya sekitar ƒ5.000.000. Biaya jalur ini menjadi konsekuensi bahwa jalur tersebut memerlukan sedikitnya 450 bangunan hikmat, karena lintasan yang akan disejajarkan dengan jalur NIS eksisting (sehingga disebut "sepur kembar") ini melintasi daerah aliran sungai yang berhulu di Gunung Merapi, dan juga lahan pertanian yang harus dibangunkan saluran irigasi yang sangat banyak. Jalur NIS Semarang–Vorstenlanden diketahui memiliki 700 bangunan hikmat yang lebih dari separuhnya ada di seksi Yogyakarta–Solo saja. Berdasarkan perjanjian, jika "sepur kembar" beda perusahaan yang dikerjakan NIS tersebut selesai, maka jalur tersebut harus diserahkan kepada SS. Pekerjaan pada bangunan hikmat di berbagai lokasi sepanjang jalur tersebut diselesaikan April 1926. Tidak ada kesulitan yang ditemui di bidang penyediaan lapangan kerja.[27] Pada awal April 1929, sehubungan dengan rencana hubungan satu hari Batavia–Surabaya lewat lintas tengah (Purwokerto), NIS melaksanakan serah terima operasional smalspoorbaan tersebut kepada SS.[28] Pada masa pendudukan Jepang di Hindia Belanda, tepatnya pada Juni 1942, jalur kereta api Kedungjati–Willem I dan Semarang Tawang–Solo Balapan–Yogyakarta yang semula menggunakan sepur 1.435 mm, akhirnya diubah menjadi 1.067 mm.[29] Jalur smalspoorbaan tersebut tak lagi digunakan untuk lalu lintas, meski jembatannya, jejak rel, dan emplasemen, masih bertahan, hingga setidaknya akhir tahun 1950-an.[butuh rujukan] Setelah SS dan NIS dilebur dan dinasionalisasi menjadi Djawatan Kereta Api, timbul upaya pengambilalihan seluruh jalur KA menjadi milik Indonesia. Jalur ini, bersama dengan Kutoarjo–Yogyakarta, merupakan jalur bersejarah karena pernah dibom pada zaman Perang Kemerdekaan. Setelah perang usai, jalur dan stasiun kemudian direnovasi. Pada tanggal 3 Januari 1946 kereta api luar biasa (KLB) Presiden Soekarno melewati jalur ini dengan penuh risiko dalam rangka memindahkan ibukota ke Yogyakarta. Perjalanan ini berakhir dengan selamat hingga Stasiun Tugu dan disambut oleh Sri Sultan Hamengkubuwana IX.[30] Pembangunan jalur ganda dan elektrifikasiJalur ganda Yogyakarta–SoloJalur ini secara bertahap ditingkatkan menjadi jalur ganda sejak 2001, diawali dengan segmen Stasiun Srowot sampai Stasiun Ketandan, yang segera dilanjutkan menjadi segmen Stasiun Brambanan sampai Stasiun Delanggu. Selanjutnya, pembangunan dilanjutkan ke barat maupun ke timur. Menurut Direktur Jenderal Perhubungan Darat kala itu, Iskandar Abubakar, mengatakan saat melakukan inspeksi di Stasiun Gawok pada 2 Agustus 2002 sore itu, bahwa jalur ini memang dibangun untuk meningkatkan kelancaran kereta api di koridor jalur selatan. Sementara itu, Sutrisno, yang kala itu menjabat sebagai Pimpinan Proyek Operasional Kereta Api Yogyakarta, mengatakan bahwa kapasitas lintas Yogyakarta–Solo pada waktu masih jalur tunggal adalah 64 lintasan per hari, sedangkan jumlah kereta api yang lewat mencapai 90 per hari. Dengan adanya jalur ganda ini, ia berharap kapasitas lintasnya dapat meningkat menjadi 128 lintasan per hari.[31] Adapun tanggal switch-over jalur ganda tersebut adalah:
Karena terbatasnya biaya, jalur ganda ini masih menggunakan perangkat sinyal mekanik. Namun, mulai 2013, stasiun-stasiun di lintas Yogyakarta–Solo mulai dipasangi sinyal elektrik produksi Len Industri.[33][34] Sinyal ini baru dinyalakan pada akhir 2015 untuk rute Delanggu–Purwosari dan dicatatkan dalam aset KAI pada 2016.[35] Pada Oktober 2018 hingga Februari 2019, sinyal yang belum aktif akhirnya dinyalakan.[36] Terkait dengan rencana pengembangan jalur, Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) memutuskan untuk mengelektrifikasi jalur ini untuk segmen Yogyakarta–Solo, sehubungan dengan rencana pengoperasian Commuter Line Yogyakarta. Wacana tersebut sudah dimasukkan dalam Rencana Induk Perkeretaapian Nasional (Ripnas) 2030.[37] Selain itu, elektrifikasi ini juga tertuang dalam Matriks Pembangunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024.[38] Elektrifikasi tersebut mulai diwujudkan dengan adanya tiang-tiang listrik aliran atas yang ditumpuk di bekas lapangan bongkar-muat peti kemas Stasiun Solo Jebres.[39][40] Per akhir Januari 2020, konstruksi listrik aliran atas sudah dimulai untuk segmen Yogyakarta–Klaten.[41][42] Pada 10 Februari 2021, kereta rel listrik (KRL) mulai beroperasi di segmen Yogyakarta–Solo.[43] Jalur ganda Solo–KaliosoPada 2022, segmen Solo Balapan–Kalioso mulai dibangun proyek jalur ganda sekaligus pembangunan rel layang di kawasan Simpang Joglo. Pembangunan rel layang ini bertujuan untuk mengurai kemacetan yang sering terjadi di perlintasan sebidang berpalang di dekatnya.[44] Proyek ini menemui masalah, karena pada tanggal 13 April 2023, Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap 25 pegawai Direktorat Jenderal Perkeretaapian di Jakarta, Depok, Semarang, dan Surabaya, dengan sepuluh orang ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan suap proyek kereta api. Dugaan korupsi di Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) yang tengah diendus oleh KPK tersebut terkait proyek pembangunan dan pemeliharaan jalur kereta api di lingkungan DJKA pada tahun anggaran 2018–2022. Termasuk yang terkena kasus ini adalah proyek jalur ganda ini, proyek jalur kereta api Trans-Sulawesi, empat konstruksi jalur kereta api lainnya, dua proyek supervisi di Lampegan, serta proyek perbaikan dan pemeliharaan perlintasan sebidang di Jawa dan Sumatra.[45][46] Hanya satu petak jalur yang sudah terbangun jalur ganda sejak akhir Oktober 2024, yaitu antara Stasiun Kadipiro dan Stasiun Kalioso.[47] Jalur terhubungLintas aktif
Lintas nonaktif
Layanan kereta apiPenumpangAntarkotaLokal
Kereta komuter
Barang
Daftar stasiunSegmen lama
Segmen aktif
Percabangan menuju Bandara Adi SoemarmoUntuk mempermudah mobilitas penumpang antarmoda dari dan ke Bandar Udara Adi Soemarmo, saat ini di petak jalan antara Kalioso–Solo Balapan sudah terdapat percabangan jalur menuju bandara tersebut. Percabangan itu tersambung dengan jalur ini di wilayah Kadipiro, Banjarsari, Surakarta. Untuk menunjang operasional percabangan tersebut, Direktorat Jenderal Perkeretaapian memutuskan untuk membangun dua stasiun baru: Stasiun Bandara Adi Soemarmo dan Stasiun Kadipiro. Percabangan ini sejajar dengan Jalan Tol Solo–Ngawi dan merupakan jalur layang. Di samping membangun jalur layang, DJKA juga membangun terowongan di bawah Gerbang Tol Ngemplak.[48][49] Jalur menuju bandara ini telah selesai sepenuhnya pada Desember 2019. Mulai tanggal 29 Desember 2019, KA Bandara Adi Soemarmo resmi beroperasi.[50][51]
Percabangan menuju Pelabuhan Tanjung Emas
Segmen baru ini dibuat oleh Direktorat Jenderal Perkeretaapian untuk meningkatkan arus pengangkutan peti kemas di rute Semarang–Jakarta maupun Semarang–Surabaya pp. Wacana ini ternyata sudah muncul dari 2014, dengan ditandatanganinya nota kesepahaman (memorandum of understanding) antara DJKA, PT KAI, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, dan Pelindo III selaku operator Pelabuhan Tanjung Emas pada tanggal 21 Maret 2014.[52] Dengan begitu, diharapkan volume angkut peti kemas dapat ditargetkan menjadi 1 juta TEUs dari sebelumnya 640 ribu TEUs.[53] Jalur kereta apinya sendiri sedang dalam tahap pembangunan sejak Mei 2016,[54] namun sayangnya pembangunan jalur KA ini terhenti karena masalah sengketa lahan walaupun jalurnya sendiri kini sudah tersisa 200 meter.[55][56] Daftar stasiunTrase NIS
Trase DJKA
Catatan kaki
Referensi
Daftar pustaka
Pranala luarPeta rute:
|