Jalur kereta api Solo Balapan–Wonokromo
Jalur kereta api Solo Balapan–Wonokromo adalah ruas jalur kereta api lintas selatan Jawa yang menghubungkan Stasiun Solo Balapan dengan Wonokromo. Jalur ini merupakan bagian dari koridor lintas selatan Pulau Jawa, tepatnya di Surakarta–Surabaya yang memiliki lintasan yang sejajar dengan jalan tol Trans-Jawa ruas Solo–Surabaya. Jalur Solo Balapan–Wonokromo merupakan jalur yang ramai karena jalur ini merupakan persimpangan antara jalur selatan serta utara Pulau Jawa yang menghubungkan DKI Jakarta atau Jawa Barat dengan Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur meskipun rute utama Jakarta–Surabaya adalah jalur utara Pulau Jawa melalui Kota Semarang. Lintas Solo Balapan hingga perbatasan Sragen–Ngawi termasuk dalam Daerah Operasi VI Yogyakarta, petak antara perbatasan Sragen–Ngawi hingga Curahmalang termasuk dalam Daerah Operasi VII Madiun, sedangkan petak Mojokerto–Wonokromo termasuk dalam Daerah Operasi VIII Surabaya. Jalur ini seluruhnya berupa jalur ganda dan berada di lintas datar, dengan sedikit lintas perbukitan sekitar Kecamatan Saradan hingga memasuki Kecamatan Wilangan. Jalur ini dibina oleh Balai Teknik Perkeretaapian Kelas I Semarang pada segmen Solo Balapan–Kedungbanteng dan Balai Teknik Perkeretaapian Kelas I Surabaya pada segmen Walikukun–Wonokromo.[1] Terhitung sejak 1 Desember 2019, dua stasiun di lintas ini (Stasiun Barat dan Stasiun Paron) masing-masing berganti nama menjadi Stasiun Magetan dan Stasiun Ngawi.[2][3][4] SejarahAwal pembangunanPada awal dasawarsa 1830-an, tepatnya setelah Perang Diponegoro, Kota Madiun dikuasai oleh pemerintah Hindia Belanda dan menjadi wilayah berstatus keresidenan dan menjadi tempat tinggal orang-orang Belanda dan Eropa lainnya terutama yang bekerja di bidang perkebunan dan perindustrian karena adanya pengembangan berbagai perkebunan dan pabrik di sekitar kota ini, seperti perkebunan tebu dengan pabrik gula, perkebunan teh, kopi, tembakau, dan lain-lain.[5] Industri pertanian dan perkebunan semakin berkembang di wilayah Madiun. Untuk mendukung distribusi hasil bumi tersebut, diperlukan sistem transportasi terpadu—terutama pada sektor kereta api. Pada tahun 1873, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan rencana jalur kereta api rute Surabaya–Solo dan Madiun–Ponorogo.[6] Pembangunannya membutuhkan kehadiran negara, dan akhirnya dilaksanakan oleh Staatsspoorwegen (SS), perusahaan kereta api milik pemerintah Hindia Belanda. David Maarschalk, yang menjadi Kepala Jawatan SS yang pertama, menjadi tokoh sentral dalam proyek pertama SS, yakni jalur Surabaya–Pasuruan, Bangil–Malang, Bogor–Cicalengka, dan juga Sidoarjo–Madiun Solo serta Kertosono–Blitar. Saat jalur debutnya, Surabaya–Pasuruan mulai beroperasi sejak 16 Mei 1878, Maarschalk dipuji karena cakap dan tegas dalam melaksanakan proyek. Mahakaryanya ini dibuat secara sederhana, tetapi dengan material yang kokoh, tepat waktu, dan tanpa pembengkakan biaya. Setelah sukses dengan jalur tersebut, Maarschalk membuat detail engineering design (DED) untuk jalur selanjutnya, yakni Bogor–Bandung (yang sudah digagas pada 1876) serta Cilacap–Bandung.[7] Pada tanggal 14 Mei 1878, dibahas rancangan undang-undang tentang pembangunan jalur kereta api negara (SS) Bogor–Cicalengka dan Sidoarjo–Madiun serta lintas cabang Kertosono–Kediri. RUU ini disetujui di Tweede Kamer dengan perolehan suara 56 setuju dan 23 tidak setuju; Di Eerste Kamer, rancangan undang-undang tersebut memperoleh suara 24 setuju 6 tidak setuju pada tahun 3 Juli 1978, setelah itu undang-undang tersebut disahkan pada 6 Juli 1878 (Staatsblad No. 93, Indische Staatsblad No. 201). Adapun lintas Madiun–Solo masih dinegosiasikan dengan Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS), sehingga rencana jalur ini dihilangkan sampai ada keputusan mengikat. [7] Untuk mewujudkan hubungan tersebut, jalur kereta api dimulai dari Sidoarjo–Tarik menuju Mojokerto yang selesai pada 16 Oktober 1880. Selanjutnya, jalur diperpanjang lagi menuju Stasiun Sembung pada tanggal 27 Februari 1881. Jalur ini sampai di Stasiun Kertosono pada tanggal 25 Juni 1881. Berikutnya adalah jalur Kertosono menuju Nganjuk yang diresmikan pada 1 Oktober 1881 dan Nganjuk menuju Madiun pada tanggal 1 Juli 1882.[7] Konsesi kedua diajukan untuk segmen Madiun–Solo. Pada 25 Mei 1880, undang-undang yang menjadi dasar hukumnya telah disahkan. Maarschalk puas karena rancangan undang-undang mengenai pembangunan jalur tersebut, karena mendapatkan 50 suara setuju dan 8 tidak setuju di Tweede Kamer. Namun, pada saat yang sama, ia menyatakan tidak mampu melanjutkan proyek ini, dan pada 15 November 1880, ia pensiun dan digantikan Direktur Tekniknya kala itu H.G. Derx. Derx melaksanakan lanjutan konsesi tersebut dengan penuh semangat.[7] Akhirnya, jalur ini pun dibuka: Madiun–Paron pada 2 Juli 1883, Paron–Sragen pada 1 Maret 1884, dan akhirnya terhubung sampai Solo Jebres dan Solo Balapan pada 24 Mei 1884. Dengan selesainya jalur-jalur tersebut, maka hubungan Solo–Surabaya dengan kereta api akhirnya terwujud.[7] Pada awalnya, kereta api berangkat dari Surabaya menuju Solo melewati Stasiun Sidoarjo kemudian Tulangan. Seiring berkembangnya jalur-jalur kereta api di Jawa, SS kemudian menambah lagi jalur ruas baru, yakni jalur pintas Tarik–Wonokromo sepanjang 30 kilometer. Rencana pembangunan jalur ini sempat ditentang oleh Oost-Java Stoomtram Maatschappij (OJS) karena dinilai mengganggu bisnis mereka. Pertentangan dari OJS tersebut disampaikan kepada pemerintah pada 29 November 1892.[7] Namun, pada akhirnya, Staatspoorwegen mendapat persetujuan untuk membangun jalur kereta api Tarik–Wonokromo melalui Keputusan Pemerintah Nomor 31 yang diundangkan pada 12 Oktober 1893 tentang Rencana Umum Perkeretaapian di Pulau Jawa,[7] kemudian diperkuat dengan sebuah undang-undang yang terbit pada 20 Juli 1895 (Staatsblad No. 212).[7] Segmen Tarik–Sepanjang selesai pada tanggal 1 Juli 1897. Pada 1 Desember 1898, jalur ini terhubung ke jalur utama Surabaya–Pasuruan di Wonokromo setelah selesainya segmen Sepanjang–Wonokromo.[7] Pembangunan jalur gandaJalur ganda Wonokromo–Tarik (1923–1942)Dalam surat kabar Deli Courant 27 Januari 1912, SS mengumumkan bahwa stasiun-stasiun di lintas ini: Sepanjang, Tarik, Krian, Mojokerto, dan Jombang, akan diperluas emplasemennya. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas lintas, sehubungan dengan rencana pengoperasian kereta api ekspres malam. Munculnya kereta api ekspres malam ini dapat berdampak pada peningkatan lalu lintas siang hari. Pembangunan jalur ganda di periode ini belum mendesak, meski SS tetap membuka kemungkinan bahwa proyek jalur ganda akan terealisasi.[8] Pada tahun 1917, muncul lagi gagasan pembangunan jalur baru di Lintas Timur SS. Tujuan pembangunan jalur baru tersebut adalah untuk meningkatkan kapasitas lintas, sehubungan dengan produksi Pabrik Gula Gempolkerep yang terus meningkat, ditambah mulai diberlakukannya kerja shift malam di pabrik tersebut. Muncul dua solusi:[9]
Namun akhirnya opsi kedua ini justru dipilih. Pembangunan jalur Gempolkerep–Kertosono didasarkan pada Indische Staatsblad No. 345 yang terbit pada 1 Juni 1918. Untuk tahap pertama, SS memutuskan untuk memperpanjang jalur dari Stasiun Gempolkerep sampai Stasiun Ploso terlebih dahulu.[7] Pada 1 September 1921, jalur ruas Gempolkerep–Ploso sepanjang 20 km mulai dioperasikan.[7] Sayangnya, jalur kereta api Ploso–Kertosono batal dibangun sehingga jalur ini hanya berujung di Ploso.[7] Jalur ganda pun tetap dibangun pada masa ini; kali ini jalurnya berakhir di Tarik. Pada masa yang sama pula, dibangun jalur ganda Meester Cornelis (Jatinegara)–Cikampek dan juga Padalarang–Kiaracondong. Hingga tahun Februari 1923, proyek jalur ganda ini masih terus berlangsung, dan SS merencanakan bahwa jalur tersebut diupayakan untuk segera dirampungkan.[10] Dalam laporan akhir SS tahun 1923, jalur ganda tersebut sudah dapat dioperasikan, bersama dengan jalur-jalur lainnya yang dibangun pada tahun tersebut. Namun, pada segmen Surabaya Kota–Wonokromo, proyeknya belum selesai, karena jembatan Kali Jagir saat itu belum kunjung dibangun.[11][12] Pada November 1924, SS merencanakan akan memperluas emplasemen Stasiun Wonokromo, sehubungan dengan rencana pembangunan jalur ganda ke Stasiun Sidoarjo.[13] Muncul kembali wacana untuk memperpanjang jalur ganda tersebut hingga Kertosono, tetapi manajemen SS menyatakan menunda proyek tersebut.[14] Jalur ganda tersebut dibongkar pada 1940-an oleh pekerja romusa dan ruas tersebut dikembalikan menjadi jalur tunggal.[15] Jalur ganda lintas selatan Jawa (2015–sekarang)Jalur ini ditingkatkan menjadi jalur rel ganda secara bertahap oleh Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA), melalui Balai Teknik Perkeretaapian wilayah Jawa bagian Tengah (sekarang BTP Kelas I Semarang) pada segmen Solo Balapan–Kedungbanteng serta Balai Teknik Perkeretaapian wilayah Jawa bagian Timur (sekarang BTP Kelas I Surabaya). Jalur ganda ini dibangun karena memiliki arus lalu lintas yang cukup tinggi.[16] Pembangunan jalur ganda ini sudah direncanakan pada Tahap II dan Tahap III Rencana Induk Perkeretaapian Nasional yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Perkeretaapian pada tahun 2018.[17] Adapun tanggal pengoperasian segmen jalur ganda di lintas ini terbagi menjadi sebagai berikut:
Jalur ganda pertama yang pertama kali beroperasi yakni di lintas Palur–Kedungbanteng sejak 5 Maret 2019,[28] kemudian lintas Nganjuk–Baron sejak 14 Maret 2019 oleh Balai Teknik Perkeretaapian Surabaya.[29] Jalur ini sepenuhnya sudah berupa jalur ganda seiring pengoperasian jalur ganda di lintas Solo Jebres–Solo Balapan mulai 7 Oktober 2020.[18] ElektrifikasiMenteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi, memberikan pernyataan bahwa rute KRL Commuter Line Solo–Yogyakarta direncanakan akan diperpanjang sampai Stasiun Kedungbanteng sehingga perlu dilakukan elektrifikasi jalur ruas Solo Balapan–Kedungbanteng.[30] Per Juni 2021, Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) mulai membangun fondasi tiang listrik aliran atas di jalur lintas Solo Balapan–Palur.[31] Profil jalurSemua segmen menggunakan rel tipe R54 dengan bantalan beton secara keseluruhan. Per 10 Februari 2021, laju maksimum kereta api yang diizinkan untuk melintasi jalur tersebut adalah 120 km/jam.[32] Pada tahun 2019, batas kecepatan di tikungan dekat Stasiun Kertosono dan bekas Stasiun Wilangan yaitu 80–90 km/jam, sementara batas kecepatan di petak jalan Solo Jebres–Solo Balapan yaitu 70–80 km/jam.[33] Jalur terhubungLintas aktif
Lintas nonaktif
Layanan kereta apiPenumpangAntarkota
Kereta bandara
Lokal dan komuter
Barang
Daftar stasiun
Percabangan menuju SidoarjoJalur ini sempat ditutup mulai tahun 1972, tetapi diaktifkan kembali pada 2009. Pada tahun 2009 jalur ini selesai direaktivasi oleh Direktorat Jenderal Perkeretaapian bersama dengan diresmikannya Stasiun Tulangan.[34] Stasiun ini resmi beroperasi kembali bersamaan dengan diluncurkannya KRD Jenggala yang melewati jalur tersebut pada tanggal 12 November 2014.[35] Pemerintah berencana menyambungkan jalur ini ke Stasiun Gununggangsir sebagai jalur baru untuk relokasi jalur Porong yang terancam tenggelam karena terjadinya bencana lumpur Lapindo.[36] Pasca reaktivasi tahun 2014 oleh Balai Teknik Perkeretaapian Wilayah Jawa Bagian Timur Direktorat Jenderal Perkeretaapian, secara umum lintas ini sudah menggunakan rel jenis R54 dengan bantalan beton. Semula laju maksimum kereta api yang diizinkan adalah 60 km/jam. Kemudian, sejak berlakunya Gapeka 2021 per 10 Februari 2021, laju maksimum ditingkatkan menjadi 80 km/jam.
Percabangan menuju Lanud IswahyudiPercabangan nonaktif ini—mulai Stasiun Magetan hingga Lanud Iswahyudi—dibangun pada tahun 1939–1940 oleh Staatsspoorwegen (SS), bersamaan dengan dibangunnya Lanud Iswahyudi.[39] Jalur ini memiliki panjang kurang lebih 5 km—berdampingan maupun bersilangan dengan jalur lori tebu PG Purwodadi—yang dikhususkan untuk mengangkut avtur atau bahan bakar pesawat yang dipasok oleh Pertamina menuju Landasan Udara Iswahyudi. Seiring dengan berjalannya waktu dan berkembangnya moda transportasi darat roda karet, Pertamina lebih memilih mendistribusikan avtur dengan menggunakan truk karena lebih efektif dan fleksibel sehingga jalur ini resmi ditutup tahun 2004.[40]
Percabangan menuju Depo Pertamina MadiunPercabangan ini dahulu merupakan jalur menuju Pabrik Gula Rejo Agung dengan panjang lintasan kurang lebih 1,2 kilometer yang digunakan untuk mengangkut tetes tebu ataupun olahan tebu lainnya dari dalam pabrik gula. Namun, jalur ini diperpendek dengan panjang kurang lebih 800 m untuk menghubungkan Stasiun Madiun dengan Depo Pertamina (Terminal BBM) Madiun. Jalur ini tepat berada di depan PT INKA dan bersebelahan dengan Jalan Yos Sudarso. Jalur ini dikhususkan untuk mengangkut kereta ketel BBM menuju Terminal BBM Madiun.[41] Untuk keperluan langsiran kereta api ketel, dijalankan lokomotif CC201, CC203, dan CC206. Jalur ini merupakan jalur kereta api pinggir jalan raya yang masih aktif selain ruas Purwosari–Solo Kota.[42]
Catatan kakiReferensi
Daftar pustaka
Pranala luarPeta rute:
Informasi yang berkaitan dengan Jalur kereta api Solo Balapan–Wonokromo |